Sunday, June 18, 2006

PELAJARAN BAHASA INDONESIA : SEBUAH PENDEKATAN BERSAHABAT


Anak perempuanku, yang sekarang kelas 1 SMP, sering merasa stress dan cemas, karena guru bahasa Indonesianya sering memberikan tugas yang tak tanggung – tanggung untuk ukuran anak SMP !!!

Maksudnya baik…karena kita tahu selama ini pelajaran bahasa Indonesia adalah mata pelajaran yang dipandang sebelah mata oleh mereka, karena mereka beranggapan bahasa Indonesia sudah digunakan sebagai bahasa sehari – hari mereka, bahasa Ibu. Sementara tingkat penguasaan dan pemahaman anak – anak kita - mengenai bahasa Ibunya - memang cukup memprihatinkan. Ini bisa diukur dari ketidakpedulian mereka akan novel – novel bermutu, dan lebih menyukai komik bergambar dari Jepang, ataupun novel teenlit yang begitu menjamur, dengan penggunaan bahasa Inggris yang melimpah di dalamnya, sementara pemahaman mereka akan kosakata bahasa Indonesia seperti yang umum ditemukan dalam puisi, amat terbatas.

Kita juga sadari, anak – anak kita tumbuh besar sebagai generasi MTV, di mana jika kita lihat, gempuran bahasa yang digunakan di majalah remaja, sinetron remaja TV, radio, ataupun iklan – iklan billboard di jalan, tidaklah menggunakan bahasa Indonesia baku dan benar, melainkan sudah mengalami proses pemangkasan menjadi bahasa ‘gaul’ dan disusupi dialek Jakarta.

Dengan segala ‘keterbatasan’ yang dimiliki oleh anak SMP masa kini, maka sewajarnyalah guru bahasa Indonesia di sekolahnya melakukan pendekatan yang memancing minat murid untuk belajar bahasa Indonesia tanpa mengandung unsur keterpaksaan, dan bukan sebaliknya ! Tetapi yang terjadi selama ini, malah membuat murid – murid beranggapan pelajaran bahasa Indonesia adalah momok yang menakutkan bagi mereka!!.

Tugas – tugas bahasa Indonesia menjadi sesuatu yang ‘asing’ dan ‘berjarak’ dengan dunia keseharian murid!
Dari tugas mengarang porto folio puisi sebanyak - banyaknya, mendongeng, membaca puisi dan menafsirkannya, resume novel, dsb yang tentunya bukan perkara mudah bagi anak SMP yang diibaratkan sebagai bayi yang baru belajar berjalan,..satu fase baru kehidupan…dan tiba – tiba sudah diminta untuk bersepeda,..sesuatu yang di luar kemampuannya !!

Mengapa untuk membuat bahasa Indonesia menjadi pelajaran yang disenangi, tidak membuat suatu pendekatan yang lebih membumi, seperti : anak diminta untuk menonton sinetron, atau acara musik khas anak muda di Global TV,dan kemudian diminta mengamati berapa banyak penggunaan kata yang tidak sesuai dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar, dalam tayangan acara 30 menit tsb.
Sehingga mereka bisa lebih merasa ‘tertantang’ dan terlibat,..karena mengamati kejadian di sekitar mereka.
Demikian pula bisa saja anak diminta untuk mengamati sepanjang perjalanan dari rumah ke sekolahnya, berapa banyak iklan, billboard, papan nama tempat usaha, yang telah menggunakan bahasa Indonesia ytang baik dan benar, dan berapa banyak yang belum. Serta diminta untuk memberikan pendapatnya, mengapa terjadi gejala pe’luntur’an bahasa Indonesia.

Untuk puisi dan prosa, bisa dimulai dari yang ringan –r ingan dahulu : utamakan kualitas dan bukan kuantitas !! Anak cukup diminta membuat 1 puisi saja, yang mewakili perasaan, pengamatan dan penghayatannya terhadap suatu keadaan. Dan diminta untuk membahasnya. Ini lebih bermanfaat dan ‘mengena’ dibanding pendekatan meminta mereka mengarang dan mengumpulkan puisi ‘sebanyak – banyaknya’ hingga puluhan, 1 puisi dinilai 1,…jadi untuk mendapat nilai 60, seorang murid harus mengumpulkan 60 puisi ¡!! Ini suatu keanehan dan ketidak wajaran !!!
Guru seperti ini TIDAK MENGHARGAI PROSES,…melainkan lebih MELIHAT KEPADA HASIL !! Padahal hasil yang mengagumkan bisa didapat melalui penyimpangan proses, misal : mencontek puisi orang lain, meminta dibuatkan orang lain, dsb.

Anak kita bukanlah pabrik kata – kata yang dapat membuat 50 puisi atau lebih hanya dalam waktu beberapa hari saja, seperti oranag yang kejar setoran !! Apalagi mereka baru dalam tahap belajar !! Seorang penyair profesional saja memerlukan waktu berminggu – minggu untuk menelurkan puisi ¡!!

Alih – alih menjadikan anak – anak cinta puisi, maka yang terkesan justru mereka makin jadi stress dan pelajaran bahasa Indonesia makin dibenci.

Karena guru mereka tidak melihat ‘kualitas’ puisi, maka untuk mengejar setoran puisi dalam jumlah banyak,.maka anak – anak yang ‘tricky’ ini mempunyai banyak cara. Beberapa di antaranya adalah : hanya membuat puisi super pendek, 3 atau 4 baris, dengan mengabaikan isinya. Bisa juga seperti anakku, yang mencoba membuat beberapa puisi yang bercerita tentang kucingnya, teman – temannya, dan dirasa masih kurang banyak,.maka ia meminta izinku untuk dapat memasukkan puisi – puisiku yang jumlahnya puluhan itu untuk di’aku’inya sebagai hasil karyanya, agar dapat memenuhi minium portofolio yang disyaratkan. Dalam hal ini, aku tutup mata terhadap kecurangan yang dibuatnya !!

Saat membuat resensi novel, aku tak ingin ia memilih novel – novel lama angkatan 20 atau 33, karena akan sulit baginya untuk memahami dari sisi bahasa dan kisah novel tsb yang bisa jadi kurang relevan lagi dengan situasi zaman saat ini.

Akhirnya kuminta ia membaca dan membuat resensi novel “Keberangkatan”nya NH Dini (sastrawan favoritku, yang kukagumi karena keberaniannnya untuk bersikap) yang sederhana, dan menggunakan bahasa sastra yang bagus.
Mungkin lain waktu akan kuminta ia membaca “Olenka”nya Budi Darma yang lebih kompleks dan absurd.

Juga saat membacakan puisi, kusampaikan bahwa ia tak perlu memilih puisi dengan tingkat kesulitan tinggi, jika itu ternyata tak dapat ia pahami, dan menjadikannya tak menghayati puisi yang dibacanya!! Akhirnya ia kupilihkan ‘Puisi Kloset’nya Rieke Dyah Pitaloka yang cukup sederhana, tetapi dapat diimprovisasikannya dengan baik saat baca puisi. Dan untuk ini ia mendapat nilai tertinggi di kelasnya.

Jika kita ingin menumbuhkan kepekaan berbahasa pada anak – anak kita, maka dapat dimulai dari hal – hal kecil : memintanya menceritakan ringkasan kisah yang ia baca atau tonton. Misal : kisah film remaja ‘My Heart’ yang sepanjang cerita begitu sendu dan kelam, novel favoritnya ‘Lukisan Hujan’nya Sitta Karina, yang menggunakan bahasa puitis dan indah.
Ia bisa membuat catatan harian, yang tak harus dibuat melalui online blog, tetapi dapat disimpan di offline diarynya yang formatnya dapat didownload dari freeware program di internet. Dengan demikian catatan hariannya akan tersimpan secara aman di komputernya.

BNI, 18 Juni 2006
07.07 am

No comments: