Tuesday, June 13, 2006

KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) atau Kekerasan Domestik



Pernah dengar KDRT ? KDRT bukanlah Kris Dayanti Ribut Terus ,…melainkan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

KDRT tidak melulu kekerasan dalam bentuk fisik, melainkan juga bisa berupa psikis, kekerasan seksual, dan kekerasan ekonomi.

Sudah banyak kejadian yang diberitakan di koran, mengenai istri – istri yang mengalami KDRT oleh suaminya. Bahkan ada istri – seorang guru SD - yang meninggal dalam keadaan koma beberapa minggu, setelah mengalami KDRT berulangkali oleh suaminya yang pemabok dan sopir angkot.

Ada juga berita di TV tentang istri yang jadi tuli, karena KDRT oleh suaminya, yang karena marahnya tidak disediakan makanan (nasi dan lauknya) ketika pulang ke rumah, padahal si suami tidak pernah memberi uang belanja, sehingga istri tak bisa membeli beras dan lauk

Timbul tanya di hatiku : apa yang membuat para suami sedemikian berang, marah dan temperamental seperti ini ?

KDRT bukanlah milik kaum menengah ke bawah saja. KDRT terjadi juga di kalangan artis, yang kadang ketika diwawancarai oleh infotainment mengapa wajahnya lebam biru, dikatakannya baru terbentur pintu, dsb.

Tetapi ada juga fenomena aneh. Ada suami yang pada saat marah, dia bisa meninju dan memukul istrinya seperti sansak tinju. Kemudian sesudah itu menyatakan penyesalannya, sambil memberikan hadiah – hadiah mahal seperti berlian, dsb. Apakah mereka berpikir bahwa kesalahan fatal yang mereka lakukan bisa terbayar impas dengan pemberian barang – barang mahal ?

Belum lagi kisah sado masochis yang dilakukan suami di tempat tidur, agar dapat merangsang nafsu seksualnya. Mestinya laki – laki type ini mesti diterapi kejiwaannya, karena ada kelainan dalam dirinya, yang bisa jadi berasal dari pengalaman masa lalunya.

Ada juga hal yang mengejutkanku dan sulit dipercaya, ketika salah satu teman laki – laki bercerita bahwa ia justru menderita KDRT yang dilakukan oleh istrinya, yang saat itu bisa memukul, menampar suaminya saat marah dan emosi. Sehingga ia hanya bisa bersabar dan berusaha mempertahankan rumah tangganya demi anak yang dicintainya. Waah, kalau kasus seperti ini, mungkin probabilitasnya satu dalam sejuta, ya !!!

KDRT tidak melulu terjadi pada suami atau istri, melainkan dapat juga terjadi pada anak, atau bahkan pembantu rumah tangga.

Masih segar di ingatan kita mengenai kasus kematian Arie Hanggara yang sempat difilmkan sekian tahun yang lalu, yang meninggal sebagai korban penganiayaan ibu tirinya.Ada juga kisah di koran, di mana seorang anak usia 4 tahun meninggal di tangan pamannya sendiri, karena sang paman tak tahan melihat tingkah nakal keponakannya.

Rata – rata pelaku tsb di atas adalah orang yang emosinya labil. Dalam kondisi stress, mengingat kesulitan secara finansial, sedikit gangguan dari orang – orang dekatnya, sudah mampu memicu emosinya sehingga berbuat hal – hal di luar nalar kita.

Tentang pembantu rumah tangga yang disiksa dan dianiaya, juga tak kurang berita mengenai hal ini. Banyak yang menjadi korban kekejaman majikan, disetrika wajah dan punggungnya, tidak dibayar upahnya. Hanya diberi makan sekali sehari. Dikurung dalam WC, dsb. Ini juga sebagai KDRT.

Sehingga kita bisa berkesimpulan bahwa KDRT justru dilakukan oleh orang – orang di lingkungan terdekat kita.

Dan yang masih belum jelas, apakah bisa pemaksaan untuk melakukan hubungan seksual oleh si suami terhadap si istri, sedang istri, karena sesuatu sebab, tidak menginginkannya , dikategorikan sebagai KDRT ?

Jika kita mengingat bahwa setiap anggota keluarga mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama, dan tak satupun merasa lebih superior dibanding yang lain, maka seharusnya KDRT ini tak perlu terjadi.
Kesewenang – wenangan dapat timbul bila salah satu pihak merasa lebih superior dibanding yang lainnya.

Yang selama ini mengherankan adalah kecilnya angka pelaporan kasus KDRT ke pihak kepolisian. Seolah tingkat toleransi dari si korban sedemikian besar, sehingga berpikiran bahwa pengaduan akan berbuntut terhadap terbukanya ‘aib’ keluarga tsb. Mungkin ini yang disebut fenomena gunung es.
Memang sebagian besar korban KDRT adalah masyarakat pedesaan. Ini terkait dengan tingkat pendidikan yang rendah.

Bisa juga istri – istri korban KDRT bertahan berdiam diri, demi mempertahankan keutuhan rumahtangganya. Apalagi kalau si istri adalah ibu rumah tangga, yang posisi tawarnya lebih rendah untuk bercerai, karena tidak siap mencari nafkah.

Untungnya pemerintah cukup tanggap mengenai hal ini. Sehingga tahun ini sudah mulai dibuat RUU anti KDRT.

Jika kita ingin mewaspadai hal ini sedari dini, bisa juga ditiru langkah yang dilakukan oleh Rieke ‘Oneng’ Dyah Pitaloka, yang memasukkan anti KDRT dalam perjanjian pranikah dengan calon suaminya. Sehingga dengan kesepakatan awal ini, tiap pihak bisa saling menghormati pasangannya dan menghindari terjadinya KDRT.

Cilandak, 13 Juni 2006
16.00

No comments: