Monday, June 05, 2006

MEMILIH PASANGAN HIDUP : BAGI ORANG INDONESIA & ORANG BARAT


Lain ladang lain belalang


Di Indonesia, pernikahan bukanlah melulu urusan dan keterlibatan 2 sejoli anak manusia. Rencana pernikahan hanya dapat digulirkan, jika ijin restu menikah telah datang dari ‘keluarga besar’ ke 2 belah pihak. Di Indonesia, jika seseorang memutuskan menikahi pasangannya, maka itu artinya ia tak hanya menikahi calon istri atau suaminya saja, tetapi juga telah me’nikah’ dengan keluarga besarnya, di’terima;’ di lingkungan keluarga besar tsb.

Bahkan di suku tertentu, seperti yang terjadi pada mantan sekretarisku, dia terpaksa memutuskan hubungannya dengan mantan pacar – pacarnya, hanya karena si mantan ini tidak sesuku dengannya. Sementara adat matriarkhat yang kuat dari sukunya, memaksanya untuk tak bisa keluar dari adat yang menjodohkannya dengan pria sesuku, yang masih memiliki hubungan darah dengan keluarga besarnya.
Kini, ia belajar mencintai pria yang dinikahinya melalui perjodohan tetua itu.
Menikah dengan pria atau wanita dari suku lain menjadi pilihan terakhir dari suku ini.

Banyak cerita seseorang yang saling mencintai, terpaksa urung menikah karena orang tua salah satu pihak tak setuju anaknya menikahi pacarnya, dengan banyak pertimbangan, terutama : bibit, bebet, bobot. Faktor lain yang menjadi penentu si kelaurga besar(baca : orang tua) memberikan hak vetonya, yaitu apabila si wanita lebih tua daripada prianya, atau si pria lajang yang belum pernah menikah (bukan perjaka ‘ting – ting’,.karena ‘ting ting’ cuma ada di ‘ting ting gepuk’ !!) memiliki pacar janda beranak sekian,..maka persepsi negatif akan muncul,…dan timbul suara yang menyiratkan seolah – olah si pria ini tak mampu lagi mencari calon pasangan hidup yang lebih baik : banyak perempuan yang masih perawan di luar sana, kok malah cari yang sudah bekas pakai dst…, dan pandangan seperti ini umum terjadi,

Sehingga di Indonesia, perkawinan adalah sebuah kompromi : karena takut menjadi Malin Kundang anak durhaka, maka restu orang tua terutama pihak ibu, akan menjadi faktor penentu. Tanpa restu orang tua, jangan harap seorang pria berani terus melangkah ke jenjang perkawainan bersama wanita idaman hatinya.
Tak ada yang salah dengan model pria yang tak berani mengambil resiko, bahkan untuk hal – hal yang menyangkut masa depan dan kebahagiaan sepanjang sisa hidupnya.
Bisa jadi, pria model ini akan bolak balik menemui ibunya sambil bergonta – ganti membawa wanita yang dipacarinya. Apabila si Ibu tidak memberi lampu hijau,.maka si wanita akan ditinggalkannya, begitu seterusnya.

Sementara di barat, menikah merupakan sesuatu yang benar – benar personal, dan tak ada urusan dan keterlibatan dengan keluarga besar. Si pria bisa saja benar - benar tak memerlukan pendapat orang tuanya, karena mereka merasa, yang akan menikah dan menjalani pernikahan adalah mereka, dan bukan orang tua mereka. Susah senang akan mereka jalani berdua.
Sehingga posisi orang tua di sini pasif : cukup sebagai orang yang menyaksikan upacara pernikahan itu sendiri.
Seperti yang terjadi pada temanku, wanita Indonesia yang pacarnya orang bule hanya melalui telpon menginformasikan kepada orang tuanya di Jerman, bahwa 3 hari lagi ia akan menikahi pacarnya di Jakarta. Dan restu melalui telpon dianggap cukup.

Latar belakang dan perbedaan budaya membuat keputusan yang diambilpun bisa jauh berbeda.

Di atas toll PI,
5 Juni 2006
08.15

No comments: