Monday, June 19, 2006

FORREST GUMP : sebuah kisah manusia penderita autis



Good quotes from Forrest Gump :

Mrs. Gump : I happen to believe you make your own destiny. You have to do
the best with what God gave you.
Forrest Gump : What's my destiny, Mama?
Mrs. Gump : You're gonna have to figure that out for yourself.


Forrest Gump : My mama always said life was like a box of chocolates. You
never know what you're gonna get.

Forrest Gump : My mama always said you got to put the past behind you
before you can move on.

Forrest Gump : I don't know if we each have a destiny, or if we're all just floatin'
around accidental-like on a breeze. But I think maybe it's both,
maybe both happening at the same time.

Masih ingat kisah film ‘Forrest Gump’ yang dibuat di tahun 1994, dan meraih banyak Oscar serta mendapat rating tertinggi dari para kritikus film ???

Film yang luar biasa bagus ini, dibintangi oleh Tom Hanks ini (hmm,…my fave actor) mampu mengaduk – aduk perasaan penontonnya, yang setia duduk menonton selama 2.22 jam !!
Film yang mengisahkan seorang penderita autis dengan IQ rendah -75 - , Forrest Gump, yang mengalami begitu banyak kejadian penting – menjadi bintang sepakbola, pahlawan perang Vietnam, bisnisman yang berhasil, dan ikon pop - dan bertemu banyak orang penting - Elvis Presley, JFK, Lyndon Johnson, Richard Nixon - dalam hidupnya, dalam kurun waktu tahun ‘50an hingga ‘70an. Suatu pencapaian yang takkan pernah terbayangkan akan mampu diraih oleh seorang penderita autis.
Ia telah meraih ketenaran, keberuntungan, dan kemuliaan, kecuali cinta sejatinya , Jenny, yang terus menghindarinya .

Sebuah film yang mengingatkan kita bahwa kebulatan tekad, keteguhan hati, dan cinta lebih penting dibanding kemampuan dan keterbatasan mental kita .
Film dengan pesan moral : JANGAN PERNAH MENYERAH !!! Mengapa mesti menyerah, jika kita sendiri tak tahu apa yang akan terjadi di masa mendatang ?

Film ini jadi mengusik keingintahuan kita tentang apa dan bagaimana autism itu ?
Kata autism digunakan pertama kali oleh psikiatri Swiss, Eugene Bleuler pada tahun 1912 . Berasal dari bahasa Latin ‘auto’ yang artinya : "self", menunjukkan tiadanya minat untuk berinteraksi dengan orang lain. Bleuler menggunakan istilah ini untuk menjelaskan kesulitan untuk berkomunikasi dengan orang lain .

Autism digolongkan sebagai neurodevelopmental disorder yang ditandai dengan keadaan abnormal dari : interaksi sosial, terbatasnya kemampuan berbahasa untuk berkomunikasi, pola perilaku yang terbatas, dan berulang – ulang dan pola minat. Autism ini tak tampak secara fisiologi. Biasanya gejalanya mulai tampak sebelum seorang anak berusia 3 tahun.

Autism disebabkan terutama oleh sistem sensor penderita autis, yang cukup berbeda dari sistem sensor non-autis.

Satu dari 1,000 anak Amerika memiliki prevalensi autism. Autism juga 3 -4x lebih besar terjadi pada anak laki – laki dibanding perempuan.

Lebih dini ciri – ciri autism ditemukan, lebih menguntungkan untuk dapat dilakukan treatment.

Seorang psikolog memiliki anak autis yang kini berusia 18 tahun. Karena pada saat itu, awal tahun ‘90an informasi masih terbatas, dan belum banyak liputan mengenai penyakit ini di mass media, juga belum maraknya penggunaan internet, maka anaknya terlambat memperoleh treatment yang sesuai dan khusus. Pada saat itu tak ada sekolah khusus untuk penderita autis. Sehingga karena tak mendapat treatment yang dapat merangsang kemampuannya berbicara, maka akhirnya hingga usia 18 tahun, anak laki – laki ini tak mampu berbicara sama sekali !!!
Belajar dari pengalaman ini, si psikolog mewanti – wanti orang tua penderita autism untuk sesegera mungkin dengan telaten melatih anak autis untuk berbicara sedini mungkin. Sehingga masa depan anak ini bisa terselamatkan.

Ini juga dialami oleh teman sekantorku, yang 6 tahun lalu, pada pertengahan tahun 2000, dengan berurai air mata menceritakan bahwa anaknya yang berumur 3 tahun , didiagnosa menderita autis. Pada saat itu autis baru menjadi sesuatu yang baru dibicarakan di Indonesia, dan literatur tentang hal ini masih sangat terbatas.. Akhirnya, dengan bersusah payah, saat kami berdua menjalani short course di AIM – Manila, ia berusaha menemukan buku - buku literatur penunjang untuk mengetahui lebih jauh tentang autism. Ia merasa curiga terhadap anaknya, ketika si anak ini suka menyukai pola - pola bentuk tertentu, seperti lingkaran, bola,…dan terus memandang tak bosannya ke mainan tsb,..dan tak hirau terhadap lingkungan sekitarnya, ia seperti hidup di dunianya sendiri dan ketika ibu atau ayahnya memanggilnya, memeluknya, ia seperti orang yang asing, miskin emosi, dan tak dapat menunjukkan atau membalas perhatian dan kasih sayang yang dilimpahkan kepadanya.

Dan apabila ia sedang marah atau jengkel, karena ingin mengungkapkan sesuatu, tetapi kesulitan mengekspresikannya, maka ia akan menangis atau marah sedemikian rupa, sehingga sulit dikendalikan emosinya.

Tak kurang upaya yang dilakukan temanku, mulai dari berkonsultasi dengan berbagai psikolog, melakukan terapi khusus untuk merangsang saraf motoriknya, memperhatikan pola makannya – karena ada kecendrungan makanan tertentu dapat memicu perilaku agresifnya : seperti tepung terigu dari gandum, susu sapi, MSG, dsb. -

Ia juga menyekolahkan anaknya ke sekolah khusus autis di mana satu guru hanya memiliki sedikit murid. Dan itupun masih ditambah guru pendamping khusus yang berbayar jutaan rupiah, untuk mengingatkannya agar fokus pada apa yang dijelaskan oleh gurunya di depan kelas.

Dengan terapi intensif, dan membaurkannya dengan anak – anak normal lainnya, maka penderita autism dapat memperbaiki kemampuan sosialnya, dan kemampuan lainnya. Tetapi tak ada satu obatpun yang mampu menyembuhkan autism.

Anak temanku ini bersekolah di sekolah dwi bahasa -70% berbahasa Inggris, dan 30% berbahasa Indonesia.- bagi anak – anak normal tetapi mau menerima 2 murid autis per kelas. Ketika kutanyakan apakah ia sekarang sudah mampu berbahasa Inggris dan Indonesia, maka jawab temanku : bisa berbahasa Indonesia dengan jumlah kosa kata yang lumayan saja sudah merupakan prestasi tersendiri. Karena ia baru bisa berbicara sesudah usia 3 tahun, setelah menjalani speech therapy. Sehingga bisa dimengerti, setiap prestasi anaknya di sekolah, mampu membuat temanku menitikkan airmata bahagia, karena bangganya ia sebagai seorang Ibu.

Jangan ditanya lagi, materi yang dikeluarkan untuk kebutuhan si anak autis ini. Tetapi semuanya akan dilakukan demi buah hatinya.

Jika sudah demikian, tak ada lagi kata – kata yang bisa terlontar dari hatiku, selain ucapan syukur bahwa aku telah dikaruniai Sang Khalik dengan anak – anak yang ‘sempurna secara fisik’ dan tak menyedot energi, perhatian, materi, serta kesabaran ekstra dariku..., karena kemandirian mereka menjalankan aktifitas sehari – harinya.
Sudah seharusnyalah aku memberikan cinta berkelimpahan kepada mereka…

Cilandak, 19 Juni 2006
13.15 pm

No comments: