Friday, June 16, 2006

MENCINTAI, DICINTAI ATAU KE-DUANYA



thx to Al, yang mengilhamiku menulis topik ini

Love looks not with the eyes, but with the mind (Shakespeare)

Tak semua orang bertemu jodohnya (atau bahasa lebih ‘dalam’nya : belahan jiwa) melalui proses mencintai dan dicintai.

Ada kalanya jodoh yang disodorkan kepadanya melalui perjodohan antar orang tua,...membuat ke-2 belah pihak – pada mulanya – tak memiliki rasa cinta, dan hanya sekedar menuruti keinginan orang tua, dan memilih perkawinan sebagai sarana untuk mengembangbiakkan keturunan, menciptakan generasi penerus, sambil berharap cinta akan tumbuh berkembang kemudian, karena kebiasaan, seperti pepatah Jawa : ‘witing trisno jalaran soko kulino’. Mereka bisa jadi adalah orang yang memilih untuk meminimalkan resiko dengan sengaja membiarkan orang lain – dalam hal ini orang tua mereka masing – masing – memilihkan pasangan hidupnya. Karena mereka berpedoman, tak ada orang tua yang ingin hidup anaknya menderita, sehingga tentulah mereka memilihkan pasangan yang akan menjadi yang terbaik bagi anak – anaknya kelak. Hal ini wajar dan bisa dimengerti, apalagi dengan anggapan bahwa pasangan pilihan orang tua adalah orang yang telah dikenal oleh orang tua itu sebelumnya, sesudah melalui tahapan screening yang cukup ketat, dari sisi bibit, bebet dan bobot, serta ke’pribadi’an : rumah pribadi, mobil pribadi, account bank pribadi, investasi pribadi, dsb. (itu sebabnya tidak ada bank yang memilih nama ‘bank pribadi’!!)

Apabila setelah menikah, ternyata semua ‘kebaikan’ dari si pasangan, tak mampu menimbulkan ‘chemistry’ dalam diri kita, ataupun jika ada, mungkin tumbuhnya cinta berjalan lambaaaat sekali. Seperti siput yang mesti berjalan sejauh 10 km, dan baru menempuh 100m. Sehingga jika kita matematiskan (memang ada cinta yang bisa dirumuskan secara matematis ???) kadar mencintainya baru 10% atau kalau BBM, bukan pertamax plus, melainkan bensin beroktan rendah yang kurang dari 88% kadarnya – yang rentan menimbulkan polusi bagi sekitarnya - maka cuma ada satu cara yang ditempuh : ingatlah ia dengan semua kebaikannya : ayah yang bertanggung jawab, suami yang baik sekalipun agak ‘kuper’ dan tak suka menemani ’dugem’, lebih suka membaca koran dan menjawab pertanyaan yang dilontarkan dengan deheman. Sehingga dengan mengingat semua kebaikannya, dan hanya sedikit kekurangan yang dimilikinya, maka kita lebih bisa menerima dia sebagai pendamping hidup kita. Apalagi jika kita sudah menggunakan priority matrix : menimbang semua faktor berpengaruh yang dimilikinya, dibandingkan dengan calon lainnya (jika ada!!), ternyata ia tetap yang tertinggi ratingnya.( Jangan lupa, orang tua atau kerabat terdekat kita – dalam pandanganku – adalah matchmaker atau mak comblang terbaik, dibandingkan biro jodoh profesional dan komersial lainnya, karena mereka sudah melakukan proses screening, dan mengetahui calon pasangan kita dengan lebih detil dibandingkan dengan biro jodoh !!! Sehingga unsur ‘membeli kucing dalam karung’nya lebih kecil !!! )

Bila ternyata tiadanya atau rendahnya chemistry ini menimbulkan rasa tidak puas salah satu pihak, atau bahkan dari keduanya, maka masalah akan muncul. Karena masing – masing pihak berusaha mencari orang lain – PIL atau WIL – yang mampu menumbuhkan chemistry dan rasa cinta .Ini yang berbahaya, karena ada rambu – rambu yang dilanggar.
Apabila hal ini jadi sesuatu yang dominan, bisa jadi salah satu pasangan akan memilih bercerai, untuk mengejar impiannya, mendapat pasangan hidup yang didasarkan kekuatan chemistry dan rasa mencintai yang besar.

Selain itu, rendah atau tiadanya chemistry bisa jadi berakibat pasangan tsb sulit merasa bahagia, dan rentan terhadap pertikaian, karena merasa tidak mencintai pasangannya. Padahal perasaan mencintai, menimbulkan semangat berkorban dan bertoleransi yang tinggi demi mempertahankan mahligai rumah tangga.

Memilihkan jodoh bagi anak tercinta, sementara anak tsb.telah mempunyai pria idaman hati - yang menumbuhkan chemistry yang kuat - bisa berujung pada pemberontakan : jika si anak gelegak jiwa mudanya tinggi, ia bisa memilih jalan nekad : kawin lari dengan pilihan hatinya tanpa restu orang tua (hmm...mana ada kawin sambil lari, ya ? bisa terjungkal !!! bukan juga seperti ‘Runaway Bride’nya Julia Roberts yang pada last minute, selalu memutuskan untuk tak jadi menikah!!) dan menanggung semua resiko akibat perbuatannya.

Mahligai pernikahan yang disertai chemistry cukup tinggi dari ke-dua belah pihak, tidak akan menjamin langgengnya perkawinan. Atau sebaliknya !!! Karena langgeng atau tidaknya pernikahan, lebih didasarkan pada komitmen atas lembaga yang bernama perkawinan, dan toleransi atas penyimpangan atau deviasi yang dilakukan oleh pasangan kita. Bila deviasinya terlalu jauh, sehingga tak bisa ditolerir lagi, maka cerai merupakan pilihan terbaik.

Idealnya, semua orang menginginkan bahwa saat ia memutuskan menikahi pasangannya, mereka berdua memiliki kadar chemistry yang sama tinggi : perasaan mencintai dan dicintai yang sama kuat, sehingga perasaan saling membutuhkan dan dibutuhkanpun sama besar.

Tetapi bila yang terjadi tidak seperti itu, maka ceritanyapun akan menjadi berbeda!! Ada orang yang lebih memilih untuk menikah dengan orang yang mencintainya, tetapi ia sendiri tidak atau sedikit mencintai pasangannya. Orang ini memilih bersikap pasif, dan memiliki motto : lebih baik menikah dengan orang yang mencintai kita, daripada dengan orang yang dicintai kita !! Karena orang type ini berpikiran bahwa cinta yang cukup besar dari pasangan kita, akan menjadi perekat yang kuat untuk mempertahankan perkawinan. Dan pasangan kita yang ‘amat’ mencintai kita ini memiliki semangat berkorban yang besar, dan menganggap kita adalah ‘sesuatu yang amat berarti dalam kehidupannya’ yang harus dipertahankan mati – matian !!!

Jika boleh kulukiskan dengan rumus matematis, bisa jadi kadar mencintai pasangan kita dan dicintai oleh pasangan kita : 20% : 80%. Nah, bisa dilihat di sini ketidakseimbangan dan ketimpangan rasio tsb, yang akan menjadi rentan apabila ada suatu konflik terjadi, maka kita yang merasa hanya memiliki kadar cinta rendah ini, akan memilih untuk mengakhirinya dengan perceraian, tanpa ada rasa sesal, karena lemahnya rasa mencintai dan ikatan emosional yang kita miliki. Apabila disediakan opsi lain : rujuk, maka kita takkan memilihnya, karena tiadanya atau tipisnya rasa cinta kita.

Sebaiknya , jika kita bisa melakukan pendekatan matematis, maka idealnya rasio mencintai dan dicintai pasangan kita adalah 50% : 50%. Tetapi sulit untuk mendapatkan angka ideal ini, sehingga rasio 40% : 60% masih dapat diterima. Jika rasa dicintai dan mencintainya sama besar, maka kemampuan dan keuletan untuk bersama menghadapi badai cobaan akan lebih besar. Hal ini juga akan tampak, begitu biduk rumah tangga goyah, maka segala upaya akan dicoba untuk mempertahankan keutuhan rumah tangga. Dan pilihan rujukpun masih amat sangat terbuka, mengingat besarnya rasa cinta ke-2 belah pihak

Apakah hak dan harapan untuk memiliki ‘chemistry’ , dicintai dan aktif mencintai ini melulu hanya milik orang muda saja ?? Sementara apabila makin berumur, maka kita bisa mendowngrade dan mengeliminasinya ? Tidak juga.
Ada orang yang bersikukuh memilih untuk menikah dengan orang yang dia cintai (yang belum tentu orang yang dia cintai, mencintai dia juga, dan memberi respon positif). Dan yakin sekali akan kekuatan ‘chemistry’ ini. Apabila dalam perjalanan hidupnya ia tak menemui orang yang dia cintai,..dan malah sebaliknya,…seseorang yang mencintai dia, tetapi tak dia cintai,.maka dia akan memilih hidup melajang seumur hidup.
Ia tak percaya pada pepatah Jawa ‘witing tresno jalaran saka kulino.’,....di mana rasa cinta bisa ditumbuhkan dan dibangun sedikit demi sedikit, seperti membangun suatu rumah. Ia tak percaya akan adanya proses tumbuh dan berkembangnya cinta ¡!!
Ia lebih memiliih percaya pada keajaiban cinta,...yang sedari awal telah menunjukkan kekuatannya melalui ‘chemistry’.

Sementara ada orang lain yang lebih memilih untuk bersikap pasif, dicintai, dan tak pernah jera dengan kegagalan karena pilihannya itu !! Karena ia menyadari hidup adalah rangkaian kompromi yang tak pernah berakhir. Seandainyapun terjadi pernikahan, itu tak semata untuk kepentingannya sendiri, melainkan kepentingan orang - orang tercintanya

Mungkin kita perlu merenungkan baris – baris puisi di bawah ini, kapan saat yang tepat menemukan ‘belahan jiwa kita’ :

Saat ketika kau merasa amat kuat
sekaligus tak berdaya.
Kau akan blingsatan manakala
hatimu bagai ditarik seratus lembu,
demi penyatuan dengan seseorang
yang kauyakini menyimpan sebelah jiwamu.

( 'Menggarami Burung Terbang' - Sitok Srengenge )

Nah, yang mana menjadi pilihan anda : mencintai, dicintai, ataukah sekaligus mencintai dan dicintai ??

Dalam perjalanan ke Kuningan, 16 Juni 2006-06-16
07.10 am

No comments: