Monday, October 31, 2005

TANAH PEMAKAMAN


Perbanyaklah ingatan untuk mati (HR Abu Hurairah)

Sudah menjadi tradisi orang muslim, jika seorang anggota keluarganya meninggal, maka ia akan menguburkannya di pekuburan. Dan bukan mengkremasikannya. Pertanyaan bagus yang timbul dari anakku : demi alasan kepraktisan, kenapa tidak kita pilih cara ini ? Lalu kusampaikan bahwa umat Islam hanya mengenal satu cara : menguburkan jenazah di tanah pemakaman, karena inilah proses pembusukan alami untuk menyatukan jasad kita yang asalnya dari tanah, kembali ke tanah.

Jika kita lihat saat ini, suatu kota yang mengalami pemekaran sekian kali lipat dari asalnya, apakah dibarengi dengan penambahan lahan fasilitas sosial berupa tanah pemakaman umum (TPU) yang memadai ? Jawabnya : tidak . Bahkan sebuah pengembang terkemuka yang memiliki luas lahan 6,000 ha di daerah Serpong, ataupun 1, 700 ha di daerah Bintaro, juga tidak memiliki TPU. Pengembang selalu memiliki tanah untuk membangun mall, tetapi tidak untuk TPU !!!

Maka sebaiknya perlu dipikirkan apakah untuk setiap minimum luas lahan tertentu, pengembang mesti menyediakan TPU. Sehingga tak terjadi lagi seperti saat ini, di mana orang masih saja menginginkan agar jenazah keluarganya dimakamkan di TPU Favorit di tengah kota, seperti di Jakarta : di Karet Bivak, yang sejak tahun 50-an telah menjadi makam Chairil Anwar, atau di Tanah Kusir, yang juga telah digunakan sebagai TPU selama puluhan tahun, dan bisa jadi telah penuh sesak dengan nisan-nisan makam yang tak lagi teratur penataannya. Padahal telah ada TPU lain seperti di Pondok Rangon atau di Jeruk Purut.

Hal sama terjadi di Surabaya, di pemakaman Ngagel yang menjadi TPU terbesar dan terfavorit untuk daerah Surabaya Selatan dan Timur. Satu area kuburan bisa berharga 5 juta rupiah, dan dari sisi kelayakan untuk penambahan nisan, seharusnya telah dinyatakan tertutup !! Karena kalau kita ukur dengan densitas makam per meter persegi (hehe,..jadi seperti populasi penduduk per sqm), maka sudah menjadi sangat tidak ‘jenazah’wi, karena amat rapat, tak ada lagi ruang untuk pejalan kaki, untuk berjalan menuju makam yang dituju tanpa menginjak – injak makam lainnya, dan satu nisan berhimpit – himpitan dengan nisan lain, dan gambaran peminta – minta yang tak kunjung henti memaksa pengunjung untuk memberi uang receh, benar benar mengganggu kekhusyukan kita. Demikian pula karena demand yang tinggi pada TPU tertentu mengakibatkan hanya orang yang memiliki uang cukup sajalah yang dapat dimakamkan di TPU tsb, karena tingginya harga tanah 2*1 m yang mesti dibayar !!! Kasian deh,.TPU pun mengenal strata sebagai TPU kelas 1, kelas 2, dst !! Tak salah jika ada yang mengeluhkan ‘hidup susah karena semua mesti dibeli dengan harga mahal, sakitpun susah karena obat dan RS mahal, matipun susah pula, karena ambulans dan tanah pekuburan harus ditebus dengan harga mahal.’ Betapa ironisnya !!! (Ada seorang tukang becak di pasar dekat rumah Ibu di Surabaya, yang jenazahnya di’telantar’kan di tepi jalan, karena para tetangganya tak memiliki uang untuk menguburkannya secara layak !!)

Tak ada aturan dari pemerintah mengenai hak pakai tanah makam, misal : apabila di atas 10 tahun, maka boleh di’tumpuk’ dengan jenasah baru. Atau aturan yang mengatur bahwa makam Ngagel, Rangkah, dan TPU tua dan penuh lainnya telah tertutup bagi jenazah baru. Sehingga jenazah baru dapat dimakamkan di Keputih – Sukolilo , yang merupakan TPU baru dan masih sangat luas, memungkinkan kita untuk memakamkan jenazah dengan layak, karena masih ada ruang yang cukup lapang bagi pejalan kaki. Bahkan bila kita ingin pesan tempat untuk diri kita yang ingin dimakamkan di samping orang terkasih, maka masih dimungkinkan, karena lahan kosong yang masih luas. (Padahal aku tak tahu apakah jika kita dimakamkan bersebelahan, akan berarti arwah – arwah kita dapat berkomunikasi lebih intensif, bila dibanding dengan dimakamkan berjauhan? Sementara arwah tak mengenal dimensi ruang ???)

Bila satu saat ajal menjemputku, aku lebih memilih untuk dimakamkan di TPU terdekat dengan lokasi rumahku. Bisa jadi di tempat pemakaman di kampung dekat rumah sopirku yang berbatasan dengan kompleks perumahan. Sehingga bisa menghemat biaya, karena tak perlu menyewa ambulans dari rumah ke lokasi pemakaman. Cukup tetangga dan keluargaku mengusung keranda jenazah. Juga anak – anakku akan dengan mudah mendatangi makamku, karena hanya berjarak ratusan meter dari rumahku….

Dan kuingin mereka melantunkan Yasiin bagiku, yang akan menyejukkan aku di alam sana….

JB – Surabaya, 31 Oktober 2005
04.20 pm

No comments: