Monday, October 31, 2005

ORANG MADURA DAN BUDAYA TORON


Ini bahasa Madura yang artinya : turun mudik. Menjelang lebaran, banyak orang Madura yang toron, pulang mudik merayakan lebaran di kampung halamannya. Dan tahulah kita tradisi orang kampung, yang pulang mudik : mereka pulang dengan membawa banyak kardus yang diikat tali rafia, berisi oleh – oleh untuk sanak keluarganya. Percaya atau tidak, orang Madura beranggapan semua barang memiliki nilai uang. Sehingga kadang, mereka membawa pulang kaleng biskuit atau susu bekas. (lihat saja pengusaha besi bekas di Surabaya, yang tempat tinggalnya di daerah elit Surabaya, asetnya miliaran rupiah dan apabila bulan puasa, membagikan zakat kepada kaum dhu’afa, yang menyebabkan antrian sepanjang jalan).
Tahun lalu, pembantu Ibuku yang orang Madura, membawa pulang TV 21 inch untuk ayahnya, sebagai hasil perburuannya di Carrefour yang saat itu menawarkan TV dengan harga murah.

Banyak juga orang Madura yang justru toron tidak sebelum Lebaran , tetapi justru mereka merasa itulah saat yang tepat untuk mengais rejeki, dari berdagang dan berjualan pada saat pedagang lain tidak berdagang. Mereka justru toron menjelang hari raya ketupat, seminggu setelah lebaran.

Kebiasaan para pembantu yang berasal dari Madura adalah : mereka memiliki rasa kekeluargaan yang kuat, sehingga jika salah satu dari keluarga memiliki hajat pernikahan atau khitanan, maka mereka akan pulang kampung atau toron. Bisa dibayangkan, bahwa tawaran bekerja di Jakarta atau kota lain yang jauh dari Madura, takkan mereka terima. Karena tak memungkinkan mereka untuk sering toron.

Etos kerja orang Madura yang gigih, ulet, tangguh, tak malu bekerja apa saja, asal halal, ditambah kondisi alam yang gersang, membuat mereka mau bercapek – capek menjadi bangsa perantau yang bertekad sukses. Sehingga kita bisa menemui orang Madura di mana saja, dari Jawa hingga Sulawesi., hingga menjadi TKW atau TKI di Arab. Dengan mudahnya kita menemukan wanita – wanita Madura yang berjualan nasi di Mekkah, di dekat hotel di Masjidil Haram. Demikian pula bila kita menyusuri pertokoan sepanjang Kuta Bali, maka sebagian besar penjual asesori dan cendera mata ini adalah orang Madura, yang juga banyak tinggal di daerah sekitar Situbondo, Probolinggo, Jember dan Banyuwangi.
Asesori yang banyak diakui berasal dari Bali, sebenarnya banyak dipasok dari daerah sekitar Pasir Putih, Probolinggo dan Situbondo .

Keberhasilan mereka dalam bekerja bisa dilihat dari seberapa besar dan tebalnya perhiasan emas yang melingkari leher, dan pergelangan tangan mereka. Sehingga aku suka meledek orang yang suka memakai perhiasan emas secara berlebihan, sebagai ‘seperti ‘reng Medura’

Jika ditanya kepada pedagang barang bekas atau penjual bubur kacang hijau : apakah tujuan utama mereka dalam hidup ini , maka bisa dipastikan jawaban mereka adalah : naik haji . Sebagai suku yang terkenal relijius, maka kesolehan formal memang melekat dan menjadi budaya mereka. Sehingga mereka rela dan sanggup bersakit – sakit, berhemat sepanjang hidupnya : jika mereka mendapat penghasilan 4 rupiah, mungkin mereka hanya akan membelanjakannya 1 rupiah, sehingga bisa ditabung untuk naik haji dan digunakan mengembangkan usahanya.
Betapa terharunya aku, seorang pedagang barang bekas yang berkeliling dari rumah ke rumah, pada usia 60 tahun mampu naik haji dari hasil berhemat sepanjang hidupnya !!!!
Sementara aku, yang secara kedudukan lebih baik, ternyata belum mampu berhaji, karena tidak memiliki tekad yang kuat untuk naik haji, dan selalu ada pembenaran atas gaya hidup yang cenderung boros !!!

Orang Madura belum merasa berhasil, jika tak bisa membangun mesjid megah di kampung halamannya . Mereka berpikir bahwa dengan mengirim uang ke kampung halamannya, dan digunakan untuk membangun masjid, maka mereka telah berinvestasi untuk akhirat : karena masjid yang digunakan untuk sholat akan mengalirkan amal jariah bagi si pembangunnya sesudah ia mati kelak.
Sehingga saat aku berkeliling Madura, di jalan utama antar kabupaten, aku temukan setiap jarak 500 m, berdiri mesjid megah yang berukuran besar dan berbiaya bermilyar - milyar, dan merupakan masjid jami’, yang jika kubandingkan di Jakarta, masjid kelas ini sudah merupakan masjid di tingkat provinsi.
Ada masjid biru yang megah, ada masjid dengan arsitektur Timur Tengah, dsb. Tetapi yang sangat disesalkan kepadatan rumah penduduknya sangat jarang, sehingga bisa dipastikan bahwa hanya sedikit sekali penduduk yang memanfaatkan masjid tsb. Masjid berukuran besar dan megah ini bisa jadi mubazir karena tak menjadi pusat menjalankan syari’ah Islam. Dan lebih ironis, apakah benar jika kita hanya menjaga hubungan vertikal kita ke Allah, dengan membangun mesjid megah, sementara kita mengabaikan hubungan horizontal kita : menolong memberikan ‘umpan’ bagi penduduk sekitar masjid yang kita bangun, yang tak berpenghasilan dan bisa jadi hanya makan sehari sekali !!!
Kesolehan sosial ini juga merupakan investasi ke akhirat . Karena kita harus mencintai sesama kita terlebih dahulu, sebelum mencintai Allah…..

JB – Surabaya, 31 Oktober 2005
21.15

No comments: