Monday, October 24, 2005

BALADA TUKANG PIJAT


Tak ada yang lebih nikmat selain dipijat pada saat kita merasa lelah dan ingin merilekskan otot dan syaraf tubuh kita. Sejak SD aku sudah mengenal pijat, dari mbok pijat yang suka dipanggil ibuku untuk memijat kami sekeluarga. Sehingga kebiasaan dipijat ini sudah berlangsung puluhan tahun lamanya. Paling tidak 2 minggu sekali aku menjalankan ritual nikmat ini, kadang dengan luluran juga. Pijatnya bisa tradisional ataupun shiatsu. Yang terakhir ini kadang berbuah malapetaka, bukannya nikmat. Karena tubuh kecilku ketika diinjak di punggung oleh si pemijat kelas berat, akan berbunyi ‘krreetteekkk’ keras sekali, sebagai pertanda terlalu keras bebannya.

Aku merasa bersyukur sekali tinggal di Indonesia yang masih memungkinkan aku untuk mendapat layanan pijat, dengan biaya bervariasi, hanya Rp 35,000 (di salon) s/d Rp 90,000 (di hotel berbintang 4 di JakSel). Itupun sudah dengan menggunakan minyak aroma therapy yang membuatku terlelap tidur . Bahkan kadang saking ingin tahunya proses mereka memijat, aku memiliki beberapa buku ‘terapi pijat’ dengan berbagai sejarah pijat memijat,dari swedish massage, shiatsu, erotic massage, dsb, hingga istilah yang digunakan di dunia pijat, seperti effleurage dsb, juga VCD pijat, agar kita dapat mempraktekkannya dengan benar. Sejauh ini yang menjadi ‘korban’ eksperimenku mengatakan pijatanku cukup enak . Sehingga kadang terbersit pikiran isengku, kenapa tidak, di kemudian hari aku memiliki usaha griya pijat, juga on –call massage, karena modalnya hanya dipan yang dilubangi bagian atasnya saja, dan shower !!!

Bayangkan dengan di luar negeri, yang untuk mendapatkan layanan pijat, mesti merogoh kocek dalam – dalam, membayar 30 USD !! Sehingga bila aku sedang tugas kantor ke luar, dan hasrat ingin dipijatku muncul, maka aku mesti memendam dalam - dalam keinginanku, karena biaya yang tinggi ini dihitung sebagai pengeluaran pribadi yang takkan diganti oleh kantor. Sementara hal sebaliknya terjadi, tahun lalu di sebuah hotel di Malang, di mana aku menginap hampir 2 minggu untuk tugas kantor, aku bisa dipijat setiap 3 hari sekali, karena murahnya tarif pijat di hotel berbintang tsb, bahkan bila dibandingkan dengan pijat di salon di Jakarta !!!

Ada satu tempat pijat favoritku yang selalu kudatangi setiap saat aku merasa lelah teramat sangat. Tempat pijat yang tak tergantikan oleh pijat di salon – salon. Tempat ini bahkan memiliki cabang di beberapa kota di Indonesia, dan mengkhususkan menyediakan layanan pijat untuk keluarga.

Tetapi pernahkah engkau bayangkan bahwa tempat pijat yang cukup eksklusif ini ternyata memperlakukan tukang pijatnya sebagai karyawan harian, yang tidak mendapat upah pokok sama sekali. Benar – benar tukang pijat yang telah bekerja bertahun –tahun ini hanya mengandalkan pada bagi hasil : untuk satu tamu yang dipijat, mereka mendapat Rp 7,500 atau hanya 10.7% dari tarif yang mesti dibayar tamu. Selebihnya adalah milik pengusaha. Bisa dibayangkan, jika sehari si pemijat hanya mendapat tamu 1-2 orang, bagi hasil Rp. 7,500 s/d Rp 15,000 ini tidak bisa menutup ongkos transport si pemijat, yang bisa jadi harus berganti kendaraan umum hingga 3x, sehingga total biaya transportasinya Rp 12,000. Belum lagi cerita si pemijat, yang tidak mendapat THR secara layak, dan saking kecilnya hingga dikatakan seperti bukan THR, tetapi lebih sebagai zakat!

Padahal peran tukang pijat di sini besar sekali, karena massage skills mereka adalah core competence panti pijat tersebut. Bila si pemijat tidak menjalankan fungsinya dengan baik, dan si tamu kecewa, tentunya mereka takkan kembali lagi, dan yang rugi adalah si pengusaha !! Mestinya berlaku prinsip win win solution. Dengan perlakuan seperti ini, menjadikan mereka sebagai karyawan harian selama bertahun – tahun, mereka sudah menyalahi aturan depnaker, dan tidak membayar jamsostek, yang seharusnya dibayarkan. Sehingga hak – hak karyawan terabaikan.

Jika mendengar kisah sedih mereka, maka yang timbul adalah rasa ngilu,…dan keinginan untuk memberi tip yang jauh lebih besar, sebagai kompensasi untuk menutup biaya transportasi dan tiadanya gaji pokok bulanan. Jika dalam keadaan seperti ini, apakah perlu kita mengatakan : gunakan nurani kita, rasa keadilan kita, karena menjadi sejahtera bukan hanya hak pengusaha saja, tetapi juga hak tukang pijat !

BNI, 23 Oktober 2005
20.00 pm