Monday, October 31, 2005

REALITY SHOW



Aku bukan orang yang suka menonton TV – bisa dilihat dari ukuran TV di rumahku yang hanya 21 inch, dan tak ada TV di kamarku – dan lebih suka menggunakan penglihatanku untuk membaca buku, dan pendengaranku untuk mendengarkan musik. Karena bagiku, membaca buku memberiku kesempatan untuk menggunakan imajinasiku, membayangkan hal – hal yang digambarkan oleh si pengarang buku. Sementara tontonan TV lebih bnayak mengarahkan penonton untuk berperan pasif hanya sebagai ‘penerima’ saja, dan membatasi imajinasi kita.

Tetapi ada satu sajian, yang mengusikku setahun terakhir ini…, yaitu reality show. Suka menonton reality show yang ditayangkan TV swasta setahun terakhir ini ?

Berbagai tema reality show membanjiri penonton TV dari Senin hingga Sabtu. Sebagian merupakan adaptasi dari reality show TV manca negara, yang sejujurnya belum tentu baik dan mengandung muatan moral dan edukasi. Seperti salah satu tayangan reality show, di mana di setiap episodenya selalu ada pihak polisi, bersama dengan beberapa orang, menuduh pihak lain (bisa jadi siswa sekolah dituduh sebagai pengguna narkoba, atau melakukan tindak pidana pencurian, dsb) sebagai melakukan tindakan kriminal, yang ternyata semua itu hanya rekayasa belaka. Tujuan utamanya adalah rekan atau kerabat dari orang yang dituduh ingin membuat ‘kejutan’ pada si ‘korban tuduhan’ dengan mengujinya sebagai ‘terdakwa suatu kejahatan’, memaksanya mengaku,..dan melihat efek psikologis si ‘korban’ , dari berteriak histeris, menangis meraung – raung, dsb….dan pada akhir episode, di saat tekanan mencapai puncaknya, maka si rekan atau kerabat, bersama polisi akan mengakui bahwa ini hanyalah ‘permainan’ semata !!!! Bisa dibayangkan apa jadinya jika si ‘korban’ adalah penderita penyakit jantung,…apa tidak langsung kambuh serangan jantungnya ?? Jika sudah seperti ini, siapa yang akan bertanggung jawab ? Apalagi jika timbul perasaan tidak terima, karena dipermalukan di depan puluhan juta penonton Indonesia !!!Apalagi semua ini melibatkan institusi terhormat seperti kepolisian, yang tidak seharusnya dilibatkan untuk acara seperti ini. Rasanya TV swasta tsb telah gagal menyampaikan pesan moral kepada penonton, selain malah menuai kritik tajam dan komentar untuk menghentikan penayangannya.

Di sisi lain, ada juga gejala yang menggembirakan, di mana kaum miskin / dhu’afa mulai jadi sasaran obyek reality show. Seperti dalam ‘bedah rumah, ‘tolong’ , ‘uang kaget’, ‘rejeki nomplok’, ‘pulang mudik’, ‘nikah gratis’, ‘naik haji gratis’. Jangan katakan bahwa hal ini meng’eksploitasi’ dhuafa. Sepanjang tujuan akhirnya adalah menolong mereka, bagiku, tetap saja hal ini mengandung pesan moral positif : agar lebih banyak orang memiliki kepekaan sosial dan kesolehan sosial untuk membantu orang lain di sekitar kita yang hidup serba kekurangan.

Di ‘tolong’,.kita bisa melihat : tak selalu ada korelasi antara pedagang yang lebih besar skala usahanya, dengan keinginan untuk menolong orang yang kurang mampu, dengan menggratiskan barang dagangannya atau melepasnya di bawah harga jual yang sebenarnya. Jsutru di banyak episode, terlihat bahwa pedagang kecil yang memiliki usaha agar sekedar bertahan hidup, memiliki kepekaan sosial dan empati lebih besar dibanding pedagang besar. Karena apa ? Karena mereka tak pernah lupa akan asalnya,…seperti ‘kacang yang tak lupa akan kulitnya’, sebagai orang yang dulu pernah hidup amat susah, sama seperti orang yang membutuhkan pertolongannya.

Hal yang menyentuh hati terjadi saat melihat tayangan ’uang kaget’ yang kurang tepat memberikan solusi bagi si orang miskin. Karena hal paling tepat adalah memberikan uang, seperti dalam ‘rejeki nomplok’ yang mencari orang di RS yang membutuhkan bantuan untuk melunasi biaya tindakan dan rawat inap di RS. Kenapa ‘uang kaget’ kurang tepat memberi solusi? Karena uang sepuluh juta yang diberikan, tidak dapat diterimakan dalam bentuk uang, melainkan harus dibelanjakan dalam bentuk barang yang dibeli dalam waktu 30 menit !!! Sehingga yang terkesan adalah belanja dengan kalap, bukan pesan belanja dengan bijak. Dan segala hal yang tak diperlukan bisa dibeli seketika itu juga, tergantung lokasi pusat perbelanjaan terdekat saat itu !! Masih beruntung jika dapat menemukan lokasi pusat perbelanjaan yang murah. Jika tidak, maka si orang miskin ini mesti berbelanja di mall yang harganya relatif mahal. Dan yang terjadi adalah kelucuan dan kegetiran pada saat bersamaan. Karena terbatasnya waktu, maka si orang miskin akan membeli telpon genggan yang bisa jadi kelak ia tak mampu membayar pulsanya. Atau ia memilih membeli kasur pegas yang ternyata saat dimasukkan di kamarnya, ruangan kamar tak cukup besar menampung kasur ukuran queen tsb.
Bisa ditebak, yang terjadi kemudian adalah bagaimana caranya uang sepuluh juta tsb bisa dihabiskan dalam waktu 30 menit. Kemudian jika si orang miskin ini butuh uang tunai, maka ia akan menjual kembali berbagi barang yang telah ia beli. Tetapi ia lupa, semkin banyak dan beragam barang yang ia beli, maka semakin turun nilai jualnya, sehingga semakin berkurang uang yang ia dapatkan dibanding nilai awal 10 juta tsb. Semakin ia jeli memilih barang yang tetap memiliki nilai jual tinggi – hanya fokus pada 1 atau 2 macam barang – seperti logam mulia batangan atau perhiasan emas – jika perlu belikan 100 gr emas dengan nilai bulat 10 juta – atau mampu menemukan dealer motor yang menjual Suzuki Smash dengan harga 10 juta, maka ia akan mendapat nilai jual kembali yang tetap tinggi, dan dapat memperkecil kerugian selisih nilai beli dan jual.

Di luar reality show seperti disebutkan di atas, ada juga reality show yang targetnya anak muda, seperti : ‘Katakan Cinta’, ‘Playboy Kabel’, ‘Cari Jodoh’ atau ‘H2C’.
Anak muda kini menjadi lebih berani untuk mengekspresikan perasaannya yang paling dalam. Me’nembak’ idaman hati, yang dulu dilakukan secara sembunyi – sembunyi, dan cukup diketahui oleh si penembak dan target tembakan, maka kini telah menjadi konsumsi jutaan penonton TV!! Dan si penembak tak perlu merasa malu, jika ‘tembakan’nya ditolak.
Demikian pula keinginan untuk memata – matai kekasih yang ditengarai potensial berbohong atau berselingkuh, maka akan menggunakan jasa ‘detektif’ dalam ‘H2C’ atau ‘playboy kabel.’ Sementara si pelapor merasa tak bersalah menjadikan target yang dicurigai berselingkuh dilihat jutaan penonton TV, di lain sisi si target merasa amat dipermalukan dengan menjadikan dirinya sebagai tokoh ‘antagonis’ yang tak populer dan menyebalkan di mata penonton.

Telah terjadi pergeseran nilai budaya dibanding di era sebelumnya.
Ruang – ruang pribadi sudah dijamah untuk konsumsi hiburan, dan makin menjadi wilayah publik.
Selama hal ini memberikan suatu pembelajaran bagi penonton, dan ada pesan moral yang dapat disampaikan,..maka mari kita sambut reality show sebagai suatu variasi di tengah monotonnya acara TV yang penuh dengan sinetron kekerasan dan tak memiliki nilai edukasi.

JB – Surabaya, 31 Oktober 2005
02.45 pm

No comments: