Friday, October 28, 2005

PESTA PERNIKAHAN


Dulu, ketika aku masih SMP dan SMA dan suka menemani orang tuaku menghadiri undangan resepsi pernikahan kerabat atau kenalan orang tuaku, aku suka bertanya – tanya sendiri : kenapa undangannya sedemikian banyak ? Apakah mempelai atau orang tiua mempelai mengenal tamu yang diundang ? Mengapa nuansanye begitu formal, dan tak tampak terjalin keakraban anatara tamu dan pengundang ?
Saat itu keherananku hanya sebatas tanya. Karena di usia mudaku, setiap undangan pesta pernikahan adalah kesempatan untuk ‘makan besar’ dengan beragam menu dari katering terkenal (jika ingat hal ini, aku jadi malu,…, membayangkan betapa ‘rakusnya’ aku menjelajah satu meja ke meja lain untuk menikmati semua menu yang ada !!)

Bagi orang Indonesia, pesta pernikahan merupakan suatu momen penting kehidupan yang menunjukkan bahwa orang tua telah rela melepas anaknya ke jenjang pernikahan untuk membentuk keluarga yang mandiri, dan karena itu wajib meng’umum’kan nya ke semua orang yang dikenal oleh orang tua, dan keluarga besar. Juga di Indonesia, pesta pernikahan juga menjadi ajang untuk ‘unjuk kemampuan sosial mereka’, seberapa ‘gaulnya ‘ si orang tua, karena semakin bnayak undangan yang disebar, semakin menunjukkan betapa luas dan beragam pergaulannya, dan juga semakin mewah gedung pertemuan yang dipilih, makin menunjukkan kelas dan status sosial si pengundang. Tidak jarang biaya pernikahan senilai dengan 1 rumah mewah atau mobil mewah !!
Alangkah tragisnya jika setelah pernikahan yang cukup mewah, si pengantin kembali menghuni rumah kontrakan atau rumah pribadi di pinggiran kota, sementara dengan uang yang digunakana untuk berpesta, mereka bisa meng’up-grade’ rumah yang mereka miliki menjadi lebih besar, atau bahkan merenovasi dan melengkapinya dnegan perabot rumah tangga yang nyaman.
Tetapi jarang orang tua yang bisa menerima saran calon pengantin untuk memestakan pernikahannya secara sederhana hanya di masjid, dan kemudian memilih uangnya diserahkan kepada pengantin. Karena apa ? Karena di sini terkait dengan gengsi dari orang tua. Karena orang tua tak ingin dicela oleh tetangga , keluarga besar dan handai taulan yang tak turut serta diundang, sebagai tak menghargai kerabat dan handai taulan, dan mereka tak siap mendengar komentar ‘orang tuanya mampu dan berduit, koq tega – teganya anaknya tidak dipestakan, ya…Jangan – jangan MBA dulu ya..!!’ Naah, komentar – komentar miring yang belum tentu terjadi ini menyiutkan nyali orang tua untuk memilih cara yang tak lazim ini.

Sehingga di keluarga Jawa pada umumnya, mereka bisa hidup berhemat selama berpuluh – puluh tahun. Tetapi begitu datang hari pernikahan anaknya, mereka akan mengorek tabungan puluhan tahun, dan akan memestakan pernikahan anaknya secara layak dan terhormat dengan biaya yang tak terduga akan mampu ditanggung oleh keluarga yang tampak sederhana ini !!

Pada saat tahun ’80 - 90 an, aku memaklumi bahwa budaya mengundang ratusan hingga ribuan undangan masih wajar, karena terkait dengan stigma di atas. Dan kupikir, perubahan akan terjadi setelah kita memasuki abad 21. Eeeh, ternyata hingga tahun 2005 ini,.tak ada perubahan dari sisi jumlah undangan yang disebar.
Hanya segelintir mempelai yang mengurangi undangan hingga berjumlah puluhan hingga seratusan, untuk menjaga kekhidmatan dan keakraban ke dua belah pihak Sehingga hanya tamu yang memiliki kedekatan hubungan dan ikatan emosional yang kuat, yang diundang ke pesta tsb. Tamu tak datang hanya sekedar memenuhi formalitas !

Selama belasan tahun pula, selalu bunyi ayat QS Rum 21 yang dicantumkan dalam kartu undangan calon pengantin muslim. Seolah – olah kita telah kehilangan kreatifitas untuk mencari kata – kata bermakna dan indah lainnya.
Kemudian ada beberapa calon pengantin yang memilih menggunakan puisi Sapardi Djoko Damono sebagai pengantar dalam undangan. Puisi yang sederhana, tetapi sangat menyentuh…(kesederhanaan dan ketepatan pemilihan kata – kata adalah kekuatan puisi Sapardi) :

AKU INGIN
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu
kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan
kepada hujan yang menjadikannya tiada
(Sapardi Djoko Damono)

Pada era ‘70 an hingga awal ‘90-an, masih umum ditemukan, tamu undangan memberikan kado pernikahan tidak berupa uang tunai, tetapi berupa kado barang pecah belah atau perlatan dapur,yang ternyata setelah dipilah pilah, mempelai bisa mendapatkan 30 pcs teaset, 10 lusin piring, 3 rice cooker, dsb, yang akhirnya mnejadi sesuatu yang mubazir, dan berlebih,.ditumpuk di gudang selama bertahun - tahun. Bahkan hingga si pengantinnya telah bercerai,.tumpukan di gudang tak kunjung berkurang. Bisa jadi kado yang menumpuk itu akan berkurang sedikit demi sedikit jika si orang tua pengantin atau pengantinnya mendapat undangan dari orang lain, maka ia tak perlu membeli kado lagi, dan cukup mengambil dari stock kado yang ada, asal jangan lupa melepas kartu nama si pemberi kado !! Budaya ini juga memunculkan toko yang mau menerima barang – barang ex kado pengantin, yang dijual setengah harga lebih rendah dibanding harga luar. Dan calon pembeli yang ingin berburu barang bagus, dan murah, dapat membelinya di toko khusus ini !!!
Kemudian dengan semakin majunya zaman, pemikiran menjadi semakin praktis dan sederhana : calon pengantin menginginkan kado tidak berupa barang, tetapi uang tunai. Karena uang tunai lebih fleksibel untuk digunakan apa saja sesuai kebutuhan pengantin, dan meniadakan kebutuhan space gudang untuk menyimpan kado barang . Demikian pula si tamu juga senang, karena tidak perlu biaya tambahan, berputar – putar berbagai toko untuk mencari kado yang sesuai, yang artinya : memakan ongkos, dan waktu ekstra!!

Tema pesta pernikahan selama 8 tahun terakhir menjadi makin variatif : dari konsep ‘open air’ , pesta kebun di kebun raya Ragunan (sehingga disaksikan tidak hanya oleh manusia, tetapi juga oleh saudara tua kita – siamang dan kawan – kawannya -) atau Kebun Raya Bogor, atau di kolam renang hotel berbintang (yang sukses memberikan penghasilan bagi si pawang hujan), hingga pesta ala ‘jadul’ era 50an : rumah betawi, lengkap dengan orkes kroncong, burung perkukut, baju serba putih ala meneer dan mevrouw Belanda , lengkap dengan nostalgia makanan tempo doeloe yang langka ditemukan saat ini. Sehingga pesta pernikahan ini telah menjadi bisnis yang berkembang luar biasa besar untuk mengakomodir kebutuhan si empunya hajat. Tak lagi sekedar catering makanan, pelaminan, bunga, dsb, tetapi telah berkembang menjadi event organizer yang mampu menawarkan paket lengkap yang sesuai dengan konsep yang diminta oleh pemilik hajat : dari H-7 untuk perawatan tubuh calon mempelai, hingga pasca pesta pernikahan untuk menyediakan bulan madu si mempelai (di Alaska !!)

Bulan lalu, sepupuku merayakan pesta pernikahannya, dan tak diduga, ia memintaku untuk membuatkan puisi pernikahan yang akan dibacakan di pestanya yang bertema ‘romantis – minimalis – dan menggunakan konsep pesta kebun .
Karena ini adalah order pertama bagiku, akau mengiyakan saja, karena menjadi semacam tantangan. Aku menyiapkan dalam waktu semalam, tak tidur hingga pukul 2 pagi . Di saat pesta pernikahan, aku membacakannya bergantian dengan seorang sepupu pria, di tengah kegelapan malam yang hanya diterangi obor dan nyala ratusan lilin di kolam renang yang tampak begitu romantis, ditingkah alunan suara orkestrasi “Melati Suci’

Jadi, gaya pernikahan seperti apa yang anda pilih untuk membuat pesta pernikahan anda jadi kenangan indah yang takkan terlupakan dan layak dikenang seumur hidup ?

BNI, 28 Oktober 2005
07.00 am

No comments: