Monday, August 29, 2005

IN MEMORIAM : CAK NUR - GURU BANGSA



Aku tersentak kaget ketika temanku bertanya, arah Tanah Kusir pasti macet malam ini . Kenapa, tanyaku? Karena Cak Nur telah berpulang ke rahmatullah pada tgl 29 Agustus 2005, pk 14.05, dalam usia 66 tahun. Inna lillahi wa’inna ilayhi roji’uun. Dan aku benar benar tersentak kaget,….dan tak terasa air matakupun menetes…

Aku bukan siapa siapa….tetapi aku pernah menjadi jamaah beliau di yayasan Wakaf Paramadina dalam kurun waktu 1997 – 2001, semasih di gedung lama di seberang RSPI. Semua bermula ketika aku pulang dari umroh di tahun 1997, dan aku merasa membutuhkan pendalaman mengenai Islam, untuk mengisi kegersangan jiwa,.. tetapi aku ingin belajar dengan pendekatan limiah dan rasional yang mudah dimengerti oleh orang seperti aku, dan tidak hanya dogmatis semata. Aku ingin semua orang yang memulai proses belajar dari nol, diperlakukan sejajar dengan yang sudah lebih menguasai. Sehingga jadilah aku jamaah Paramadina yang mengambil kursus rutin setiap Sabtu pagi dan siang, mengikuti paket kajian agama Islam,…dari paket mengenal Islam hingga paket tasawuf. Beliau sering menjadi penceramah tamu, yang menjadi ‘gong’; dari suatu paket kajian yang biasanya hingga 6x kedatangan.

Aku selalu menandai jika penceramahnya Cak Nur, maka ruang kuliah akan penuh. Dan yang membuat aku terharu,.kita dibebaskan untuk bertanya apa saja…, tanpa menganggap kecil pertanyaan kita Beliau orang yang amat sangat sederhana, yang tidak seperti orang orang lain yang melekatkan pengakuan orang dari pakaian yang dikenakan, dari atribut yang menempel pada badannya. Karena kekaguman orang pada Cak Nur, didasarkan pada kerendahhatian beliau, kebesaran jiwa, kesantunannya, integritas yang tinggi, memimpin dengan teladan, idealisme, dan yang paling penting adalah pemikiran – pemikiran beliau yang menembus masa, yang barangkali terlalu jauh ke depan pada saat itu.

Pada setiap ceramah beliau, beliau selalu menekankan kepada hal – hal mendasar dalam Islam ,..yang mesti dimiliki oleh semua muslim, seperti misalnya :
Bagaimana beliau mengaitkan antara : setiap orang memiliki potensi untuk salah, maka ia harus berani mendengarkan orang lain , sehingga yang penting di sini adalah Openness culture atau budaya mau mendengarkan. Jangan sampai kita menjadi orang yang tertutup hatinya, karena akan memungkinkan terjadinya kekafiran yang paling berbahaya : me’nuhan’kan hawa nafs kita atau keinginan diri kita sendiri, yang artinya : menganggap diri sendiri paling benar, sebagai salah satu bentuk otoritarianisme

Hal ini juga dikaitkan dengan pengulangan setiap beliau ceramah, yang menekankan pentingnya muslim menjadi orang yang rendah hati atau tawaddu , memiliki humility atau humbleness. Mengapa ini penting ? Karena orang yang rendah hati akan menempatkan sesuatu pada tempatnya, dan orang yang rendah hati akan lebih mudah belajar dan lebih mudah sukses.
Bukan menjadi orang yang rendah diri, yang agresif dan mudah tersinggung atau menjadi orang yang ‘ujub atau kagum kepada diri sendiri, yang merupakan salah satu bentuk kesombongan. Karena memuji diri sendiri merupakan salah satu indikasi kelemahan jiwa. Nikmat yang Allah berikan pada kita, bukan untuk ‘ujub, tetapi untuk mensyukuri betapa banyak nikmat Allah.
Dan jangan puji diri sendiri, tetapi pujilah Allah.

Cobaan yang melanda bangsa Indonesia, juga merupakan satu bentuk ‘sense of crisis/emergency’, sehingga cobaan ini patut disyukuri, karena jika lulus ujian, akan mendapat promosi. Jadi, penting untuk memiliki sense of crisis dan tidak bersantai dan berfoya – foya serta beranggapan dunia adalah segalanya.

Umat muslim harus memiliki komitmen tinggi terhadap pidato perpisahan Nabi pada haji wada’, yang berisi tentang : hidupmu (LIFE), hartamu (PROPERTY), dan kehormatanmu (HONOR), SUCI sampai hari kiamat

Beliau juga menekankan pentingnya memulai dari hal kecil, seperti kebersihan atau menjadi bangsa yang tertib dan berdisiplin, dan memiliki tidak saja sebatas kesolehan formal, tetapi juga kesolehan sosial yang saat ini masih sebatas wacana.

Islam adalah agama ‘open humanism’., percaya sepenuhnya pada kemanusiaan . Human dignity, menyangkut harga diri bahwa “I’m somebody”, dan kita hanya bisa menghormati orang lain, bila diri kita sendiri terhormat.

Ceramah beliau yang bernas, mampu mengaitkan ayat – ayat Qur’an dengan apa yang kita alami, dengan pendekatan rasional dan membumi, pemikiran beliau tentang masyarakat madani, Islam inclusive dan bukan exclusive, passing over melintasi batas agama, agar kita dapat menghargai perbedaan antar agama, dan banyak lagi pemikirian beliau lainnya,
membuat kita akan selalu mengenangnya sebagai pemikir, cendekiawan Muslim, dan negarawan yang dicintai oleh segenap umat beragama di Indonesia.

Selamat jalan, Cak Nur…. Semoga akan muncul Cak Nur – Cak Nur lain yang memiliki idealisme dan pemikiran sepertimu …

BNI, 29 Aug 2005
19.00