Thursday, November 03, 2005

PRT DAN WILAYAH DOMESTIK


Betapa berterimakasihnya aku karena selama bertahun tahun aku terbantukan oleh pembantu rumah tangga untuk melakukan tugas domestik : dari membersihkan rumah, memasak, mencuci dan menyetrika pakaian, hingga merawat tanaman.

Kadang peran seseorang baru terasakan ketika ia tiada...saat PRT ada bersama kita, kita cenderung mengecilkan arti keberadaannya. Kadang kita menjadi ‘kejam’ karena membuat diri kita jadi tak ‘berdaya’,…sedikit – sedikit meminta bantuan pembantu untuk hal – hal yang bisa kita lakukan sendiri seperti membuat minuman, dsb. Kita suka me’manja’kan diri kita…dengan cara me’utilizasi’ pembantu kita secara berlebihan. .., dari subuh hingga malam menjelang tidur.

Pada saat ia tak ada karena pulang mudik,.kita jadi demikian sibuk dan heboh. Teman – temanku memutuskan untuk cuti jika pembantunya mudik,..agar bisa berkonsentrasi pada urusan domestik rumah.
Sementara aku tetap memutuskan bekerja dengan resiko anakku membawa kunci cadangan, dan memasak sendiri mie instan atau telur ceplok sebagai menu makan siangnya. Jika memungkinkan istri sopirku menjaga rumahku dari siang hingga aku pulang, untuk menemani anakku perempuan (aku tak bisa mengandalkan anakku laki – laki agar menjaga rumah, karena ia suka keluar rumah hingga Maghrib tiba) . Paling aku mesti pulang tepat waktu pukul 5 sore, agar bisa menyediakan makan malam saat anak – anak lapar.

Tugas seorang pembantu bisa dibagi dan dikerjakan oleh 3 orang : aku mendapat tugas memasak dan mencuci pakaian, anak perempuanku – yang tiba – tiba menjadi si Upik abu – menyapu lantai, dan mencuci piring, sementara anak lakiku menjemur pakaian dan mengepel lantai. Sementara tugas lain bisa dikerjakan bergantian dan berkurang frekuensinya dari seharusnya. Satu hal yang harus diingat di sini : kita mesti rela menurunkan standard dan kriteria hasil kerja kita : baju yang dicuci pasti tak sebersih bila dicuci pembantu kita yang terbiasa mengucek dengan sekuat tenaga, variasi dan rasa masakanku tak seenak seperti masakan pembantuku yang sudah teruji keahlian memasaknya selama bertahun – tahun. Tentu tak adil membandingkan hasil kerja ‘pembantu dadakan’ dengan ‘skilled maid’ yang telah memiliki keahlian selama belasan tahun.

Saat pembantu mudik, baru terasakan betapa banyak pekerjaan yang dilakukan oleh seorang pembantu. Bila kita pilah tugas yang mereka kerjakan berdasarkan total jam kerja dari pukul 4.30 pagi hingga 8 malam dengan diseling istirahat 2 jam di siang hari, baru tampak bahwa total jam kerja harian mereka sekitar 13.5 jam, dan mereka tidak bekerja 5 hari seminggu melainkan 7 hari seminggu. Sehingga total jam kerja dalam seminggu, bukan 40 jam seperti yang ditetapkan Pemerintah untuk pekerja penuh waktu, melainkan 94.5 jam per minggu !!!! Ini bahkan ;ebih dari 2 x lipat jam kerja yang ditetapkan oleh pemerintah. Untuk semua kerja kerasnya itu apakah pembantu menerima lembur ?Tidak sama sekali !! Apakah mereka dihargai atas ke’rela’annya untuk bekerja lebih panjang dari seharusnya ? Tidak juga!!! Malah lebih banyak omelan daripada pujian yang mereka terima dari kritikus no.1 : majikan mereka. Pembantuku libur 1 hari dalam sebulan, refreshing dengan menginap ke rumah saudaranya. Jika sebulan total jam kerja mereka 392 jam, dan upah per bulan mereka Rp 500,000 (padahal masih banyak pembantu yang menerma upah jauh lebih rendah dibanding angka tsb di atas), maka upah perjam hanya setara dengan Rp 1,278 (hanya cukup membeli beras ¼ kg) !!! Sementara di Barat sana seorang maid menerima upah paling sedikit 5 USD perjam, 39x lipat dari upah pembantu di Indonesia !!!! Dan di Barat, mereka tidak bekerja secara serabutan, mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga, melainkan fokus hanya pada hal tertentu saja : memasak dikerjakan oleh orang yang berbeda dengan membersihkan rumah.

Bila kita yang mengerjakan sendiri tugas – tugas yang biasa dikerjakan oleh pembantu kita, maka kita cenderung menyederhanakan dan meringkasnya menjadi tugas – tugas pokok saja yang kita lakukan. Ada proses mereduksi dan mengeliminasi tugas - tugas tsb jika tak ingin kita jadi lelah teramat sangat dan super stress, karena belum selesai tugas satu dikerjakan, sudah menunggu tugas lain seperti piring dan gelas yang menumpuk untuk dicuci.

Sehingga kita cenderung memilih menggunakan piring kertas yang sekali pakai buang, minum dari kemasan gelas aqua sekali pakai buang, memilih bumbu instant nasi goreng, rawon, asem – asem dsb, serta membawa pakaian kita ke laundry. Bagi orang kaya, mereka memilih cara ekstrem : ‘mengungsi’ ke hotel selama seminggu dua minggu, agar kebiasaan mereka untuk dimanjakan tak berkurang : dari makan di restoran, laundry pakaian, hingga kamar yang tetap bersih, dan rapi tertata. Dan semua ini berbuntut ‘high cost’ untuk menikmati sesuatu yang sama seperti yang disajikan oleh pembantu kita,.additional expense yang tak pernah kita akui , yang kita sembunyikan di balik alasan ‘kepraktisan’ !!! Padahal jika kita mau jujur, berapa banyak ketidakefisienan waktu yang berbuah cost saving (ini melawan teori management yang mengatakan ketidakefisienan akan mengakibatkan pemborosan!) telah dilakukan pembantu kita !!! Dari melakukan proses mencuci gelas dan piring kita yang bertumpuk (dan bukan menggunakan yang sekali pakai), mengulek semua bumbu masakan Indonesia yang terkenal rumit dan makan waktu (bukan dengan membeli bumbu instan atau menggunakan grinder)…., mencuci dengan cara manual menggunakan penggilasan dan mengucek (bukan dengan mesin cuci), hingga membersihkan perabotan dengan cara melapnya satu persatu (bukan dengan vacuum cleaner)

Baru kita sadari betapa rendah penghargaan kita terhadap pembantu. Kita cenderung menyepelekan keberadaan mereka tetapi sebenarnya kita amat membutuhkan mereka.

Sesungguhnyalah orang Indonesia amat beruntung karena tak perlu menunggu menjadi super kaya seperti di Barat, agar bisa mempekerjakan pembantu.
Kita seharusnya menjadi bangsa yang ‘lebih berkualitas’ karena memiliki waktu lebih banyak dibanding bangsa Barat, untuk bersantai dan memanjakan diri sendiri, karena tugas mengerjakan pekerjaan rumah tangga telah diambil alih oleh pembantu kita. Sehingga kita bisa menggunakan sebagian waktu kita di rumah untuk belajar…, melakukan ‘self – improvement.’

Begitu mudahnya di Indonesia kita mempekerjakan pembantu – saking banyaknya rakyat miskin di Indonesia yang butuh pekerjaan sekedar bertahan hidup setelah desanya tak lagi memberinya penghasilan yang memadai sebagai buruh tani - membuat kita merasa memiliki posisi tawar yang jauh lebih kuat dibanding mereka. Dan di sinilah ketidak adilan dimulai ! Pemerintah perlu memikirkan nasib pembantu dengan membuat perangkat peraturan yang melindungi hak – hak mereka, seperti di Singapura, Hong Kong dan Malaysia, termasuk di dalamnya pelarangan mempekerjakan pembantu di bawah umur dan penentuan upah minimum mereka.

Karena pembantu juga manusia ….

JB – Surabaya, 1 Syawal 1426 H - 3 Nov 2005
20.40

No comments: