Sunday, November 06, 2005

GELAR AKADEMIK, GELAR KENINGRATAN, DAN GELAR KEAGAMAAN


Jaman dulu, sekitar tahun ‘70 an, aku suka kagum menerima undangan pernikahan yang mencantumkan nama si mempelai dalam kartu undangan “ dengan embel - embel gelar di belakangnya “ R. Supardjo BA “ , “ Rr. Sisca BcHk’ atau “Drs. Soewignyo’, sehingga timbul gejala banyak orang tua yang memburu mencari menantu bergelar bangsawan (bukan ‘bangsane tangi awan’) dan sarjana atau setidaknya sarjana muda ! Seolah tiket mendapatkan menantu yang baik adalah dengan mempunyai menantu bangsawan dan sarjana !!!
Itupun masih ditambah dengan embel – embel bekerja sebagai pegawai negeri. Pegawai negeri adalah jawabatan idaman yang akan menjamin masa depan cerah dan pensiun di masa tua.
Bahkan jika seseorang memiliki nama yang pendek, ia akan menambahnya agar menjadi panjang dengan gelar keningratan dan agama sehingga menjadi : H(aji)R(aden) Bejo !!!

Padahal ritual naik haji adalah pengalaman spiritual antar hamba Allah dengan Allah, dan hanya Allah yang tahu apakah hambaNya telah naik kadar ketaqwaannya setelah berhaji, dan bukannya setelah itu mencantumkan gelar ‘haji’, tetapi menjadi tersangka kasus korupsi dan tindak pidana penyuapan aparat hukum dan keadilan seperti Haji Probosutejo !!!

Sementara gelar kebangsawanan yang berbau ‘feodal’ mengingatkan kita pada zaman kolonialisme – penjajahan dan kerajaan jadul : Andi di Makassar, Teuku dan Cut di Aceh, I Gusti di Bali, Raden dan Raden roro di Jawa.
Bukankah lebih mulia menjadi ‘bangsawan hati’ bagi semua orang, seperti julukan yang diberikan kepada Putri Diana, yang terkenal dan dikagumi bukan karena gelar bangsawannya HRH : Her Royal Highness Diana, tetapi lebih karena aksi sosialnya yang secara konsisten selalu berpihak kepada rakyat kecil yang menderita

Jika kita membaca berita koran akhir – akhir ini, kita akan menemukan banyak kisah tentang pemalsuan ijazah sarjana dan pasca sarjana serta gelar palsu yang digunakan berderet di kartu nama seseorang.
Bahkan 8 tahun silam, aku banyak membaca iklan di koran yang mengatakan hanya dengan 5 juta rupiah, tanpa bercapek – capek kuliah, atau membuat disertasi, anda akan mendapat gelar master atau Doctor dari lembaga pendidikan non - akreditasi, dan wisuda dapat diadakan di Mekkah sambil berumroh (??? Apa hubungannnya ya ??).
Juga program study jarak jauh seperti yang diiklankan oleh beberapa perguruan tinggi NON AKREDITASI di US yang ingin menjaring orang – orang Indonesia yang ‘haus dan keblinger’ gelar untuk menghambur – hamburkan uangnya dengan cara membeli gelar !!

Mengapa hal seperti ini masih saja terjadi, terutama di kalangan pegawai negeri ? Karena kita adalah bangsa yang mudah terkagum – kagum dengan gelar berjejer, tanpa melihat apakah karya dan kinerja orang tsb sesuai dengan deretan gelarnya yang panjang .

Karena gelar sarjana di dunia pegawai negeri memungkinkan mereka untuk naik golongan, yang artinya mereka akan mendapat posisi dan penghasilan yang lebih baik !!
Sementara dunia swasta tidak mengenal istilah ini !! Dunia swasta – terutama multi national company – lebih melihat pada capability, capacity, skills dan expertise seseorang pada bidangnya !! Tak berarti yang memiliki gelar kesarjanaan lebih tinggi dan lebih lama length of servicenya (baca : lebih senior !!) akan menduduki kursi jabatan yang lebih tinggi !! Kerap kubaca di Barat, seseorang yang memulai karirnya dari bawah, dari level rank and file, ternyata mampu menjadi President Director, karena beberapa faktor yang kusebutkan di atas tadi, selain kerja keras dan motivasi yang tinggi untuk ‘do the best’, sekalipun pendidikan formalnya hanya setara dengan STM di sini.

Di multi national company, kita tak perlu mencantumkan gelar kesarjanaan kita di kartu nama, karena orang akan melihat pada ke-4 kriteria yang kusebutkan di atas !!
Bahkan tak perlu mencantumkan kesarjanaan seseorang pada kartu kredit, kartu undangan pernikahan, dsb. Biarlah masyarakat yang menilai sejauh mana kemampuan dan kinerja kita.

Sehingga jika karyawan swasta kuliah lagi dan mengambil S1 atau S2nya, itu lebih sebagai sarana untuk menambah wawasan dan aktualisaisi diri. Syukur – syukur jika dengan S1nya mereka bisa mendapatkan posisi yang lebih sesuai dengan latar belakang pendidikan S1nya, dibanding menjadi karyawan ‘krah biru’ seumur hidup !!

Tak ada jaminan bahwa gelar kesarjanaan akan membuat seseorang bekerja dengan optimal, menunjukkan kemampuan dan kapasitas optiumumnya, terutama pada saat berhadapan dengan tekanan yang tinggi. Karena gelar kesarjanaan masih perlu ditambah dengan EQ dan SQ untuk bisa membuat mereka ‘tough’, ‘mature’ dan sukses dalam pekerjaannya. Bahkan banyak orang yang pada saat kuliah bukanlah ‘bintang’ dan hanya mendapat IPK biasa – biasa saja, tetapi ternyata malah sukses dalam meniti karir, karena memiliki EQ yang tinggi.

Bagiku, belajar adalah proses peningkatan diri seumur hidup !! Bekal ilmu yang kita rasa cukup sekian tahun lalu, menjadi tidak cukup lagi di saat ini,…karena kebutuhan yang terus meningkat, dunia bisnis yang terus berubah dan berkembang , sehingga menuntut kita untuk terus meng-upgrade diri kita !!

HR : tuntutlah ilmu hingga ke negeri Cina.
Pada zaman itu,..Cina adalah negeri yang amat jauh dan bukan negeri muslim. Tetapi jika Nabi Muhammad sampai meminta umatnya agar menuntut ilmu di negara yang telah lebih maju peradabannya, artinya, … kita perlu meningkatkan kemampuan diri kita dengan belajar kepada orang lain , negara lain yang jauh lebih maju dan canggih, sekalipun itu non – muslim !!!

BNI – 7 Nov 2005
11.30 am

No comments: