Sunday, November 06, 2005

BALADA TUKANG SATE



Tak ada yang lebih nikmat selain menyantap sate ayam dan sate kelinci di tengah udara dingin di malam hari. Demikian juga yang kulakukan ketika keluarga besarku memutuskan untuk menginap di Tretes, suatu tempat sejuk di lereng G. Penanggungan.

Apa yang menarik dari si tukang sate ini dibanding tukang sate lainnya ? Ia menggunakan alat bantu motor untuk menawarkan satenya dari rumah ke rumah. Dan, ia bukan tukang sate sejati yang memiliki pengalaman menjual sate berpuluh tahun. Jam terbangnya masih ‘pendek’, baru setahun. Dan inilah kisahnya… (seperti biasa rasa keingin tahuanku yang besar terhadap ‘wong cilik’ selalu menarik perhatianku untuk ‘mewawancara’ mereka,…dari sopir taksi di Kuta – Bali, sampai tukang pijat di Carita) .
Malam itu, aku mewawancara si tukang sate, dan keluarlah kisahnya. Ia adalah korban PHK Sampoerna Group, yang mendapat uang pesangon tahun lalu, jauh sebelum saham Sampoerna dibeli oleh Phillip Morris. Kemudian ia ditawarkan bergabung dengan perusahaan outsourcing, tetapi ia memilih untuk berusaha sendiri.

Mulailah ia bekerja sebagai tukang sate. Ia mendapatkan pasokan daging sate mentah dan bumbu kacangnya dari kakak laki – lakinya. Sementara ia bertugas sebagai bagian Marketing, di mana ia akan berkeliling dari satu daerah ke daerah lain di Tretes, dari pk 10 pagi hingga 2 pagi (16 jam sehari !!) untuk dapat menghabiskan 300 – 400 tusuk sate. Waktu yang paling dikejarnya adalah saat jam makan siang dan makan malam.
Jika 10 tusuk sate ayam dijual seharga Rp. 5,000, sementara sate kelinci dijual Rp.8,000 per 10 tusuk, dan sate kelinci yang dibawa hanya 20% dari total sate, maka dalam sehari ia akan mengantongi penghasilan kotor sekitar Rp. 188,000 - Rp. 224,000. Jika dari kakaknya ia mendapat komisi 15%, maka total ia bisa mengantongi uang Rp. 28,200 s/d
Rp. 33, 600 sebelum dipotong biaya 2 l bensin Rp. 9,000 yang setara dengan 100 km perjalanan . Sehingga keuntungan bersihnya berkisar antara Rp. 19,200 s/d Rp. 24,600 untuk 16 jam bekerja !!!! Dengan kata lain, nilai produktifitas si tukang sate, dari sisi uang adalah Rp 1,200 s/d Rp 2,050 per jam !! Betapa rendahnya !!
Padahal produktifitas mengolah satenya cukup tinggi : 1 menit, untuk 2 sate !! Sehingga sesungguhnyalah ia mampu membakar dan mengipas 300 – 400 tusuk sate hanya dalam waktu 2.5 s/d 3.3 jam saja !!!

Inilah kenyataan hidup, betapa banyak orang di sekitar kita yang bersusah payah bertahan hidup untuk mendapat penghasilan Rp 1,200 per jam, yang bahkan jauh lebih kecil dibanding pengamen dan peminta – minta di Jakarta !!! Tetapi ia memiiliki harga diri yang tinggi, karena tak mau menadahkan tangan selagi masih bisa bekerja…..

Villa M – Tretes, 4 Syawal 1426 H – 6 Nov 2005
07.00 am

1 comment:

buderfly said...

Whew! Aku suka banget baca yang kayak gini ini..Bagus, bagus...bagus!