Sunday, December 18, 2005

TAK BISA PINDAH KE LAIN HATI


Ungkapan ini terasa pas mewakili kebiasaan konservatifku dalam memilih makanan saat makan di luar rumah.
Baik makan malam di restoran ataupun di tenda biru, bahkan saat bertugas ke luar kota atau negeri.
Aku hanya ingin merasa ‘aman’ dan mengurangi resiko kecewa karena rasa makanan yang tak bisa diterima lidahku. Padahal tak ada salahnya mencoba sesuatu yang baru. Tokh jika tak memuaskan selera kita, sanksinya sederhana saja : cukup sekali datang ke sana, dan tak perlu kembali lagi !! Sederhana, kan ??

Setiap menjemput anakku seusai les ballet, jika perut sudah lapar, aku akan memutuskan makan bakwan pitu, atau pergi ke tenda biru nasi uduk bang John di Sektor IX. Padahal, di tenda biru belakang McD, bertebaran begitu banyak warung makanan, dari selera Indonesia, Jepang sampai Barat. Tokh yang kupilih selalu makanan yang itu – itu lagi.
Sekalipun sudah direkomendasikan oleh seorang kawanku untuk mencoba mie Aceh, begitu tahu bahwa campuran bumbunya menggunakan rempah – rempah seperti masakan Arab yang kuat rempah – rempahnya (padahal aku tak suka segala bumbu yang menyengat seperti pada nasi kebuli, kari India dsb ), maka aku memutuskan untuk tidak mencobanya.

Demikian pula jika berada di mall yang menjual segala macam fast food di food courtnya, maka aku akan memilih yang ‘pasti - pasti’ saja, seperti Bakmi GM, Hoka – hoka Bento untuk masakan Jepang, Es teler 77 untuk bakso Super Jumbonya, McD atau burger Arbys (Sekarang berganti nama menjadi apa,.aku lupa) yang luar biasa enaknya karena tampilan dan rasanya yang sama sekali berbeda dibanding burger pada umumnya. Arbys burger menggunakan daging asap yang berlapis – lapis dengan dressing saus yang berbeda, dan melted cheese yang benar – benar membuat kita merasa ‘mantap’ memakannya.

Di CiTos, resto favoritku yang menawarkan rasa yang pas di lidah untuk segala jenis makanan China : Eaton. Di sini resiko bisa diminimalisir, karena semua makanan rasanya enak, dari kwetiau goreng sea food sampai nasi goreng sunrise dengan potongan nanas - kecuali bakmi pangsit dan baksonya yang terasa ‘plain’ bila dibanding bakmi GM -. Di Eaton kita bisa memesan makanan tanpa MSG Tetapi Eaton adalah resto yang hanya enak untuk makan semata.. Kita tak bisa leluasa ngobrol karena tempatnya yang sempit, dan meja berdekatanpun bisa dibagi dengan orang lain, sehingga yang terasa adalah suasana yang hiruk dan obrolan basa – basi.
Selain Eaton ada juga Mango dengan dekorasi merah hitam dan tiruan pohon belimbing (?) di bagian depannya serta tetes air yang gemericik dari sela dinding batu. Mango adalah resto China cuisine, yang benar – benar yummi rasa masakannya, tetapi harganyapun jauh lebih mahal. Dari udang tabur wijen bumbu saus mayonnaise, hingga broccoli ca dagingnya excellent. Ini tempat yang cozy untuk bincang – bincang dengan rekan kerja atau bisnis.
Bila ingin makan berbagai pasta, dengan rasa khas Italy yang belum dimodifikasi sesuai lidah orang Indonesia, bisa memilih Izzi Pizza, yang menawarkan berbagai menu pizza dan spaghetti yang tak ditemui di fasfood pizza lainnya, kecuali di resto fine dining Itali di Kemang, seperti Toscana. Spaghetti favoritku adalah spaghetti dengan saus keju bechamel dan irisan daging asap tipis – tipis ditambah kacang polong/sweet peas,…aku lupa namanya,.tetapi rasanya tak terlupakan. Ditambah dengan ice caramel mocha, lengkaplah santap siangku.

Di luar itu, ada satu resto favorit, yang selalu jadi preferensi jika mesti mengantar tamu dari luar negeri, yaitu Padzzi, di Ampera Raya arah ke Kemang, yang menawarkan aneka sea food. Sapo tahu sea food, gurami goreng dengan sambal mangga, nasi goreng Jawa dengan trasinya, membuat tamu – tamu yang diajak, ingin kembali ke resto ini. Apalagi menu minumannya bisa mengajak orang lain bernostalgia, dari es dawet hingga es kopyor.

Jika di PIM, selain bakmi GM, bisa juga ke Kafe Mall, karena menawarkan beragam makanan dengan rasa yang semuanya dijamin enak, dan harga terjangkau. Dari udang saus mayonnaise, nasi goreng sea food, dim sum, chicken cordon bleu, hingga gindara steak.

Nah, bila di restoran yang bernuansa cafĂ©, aku lebih berani mengeksplorasi jenis makanan yang kupesan, karena aku tokh belum pernah punya pengalaman dengan rasa makanannya. Hal teraman adalah dengan menanyakan kepada pramusajinya, apa makanan spesial resto ini yang menjadi andalan dan unggulan, yang paling banyak dipesan pengunjung lain. Ini memang terkesan ‘me – too’ tetapi meminimalkan resiko kecewa. Bila kita sudah memiliki pembanding di luar, seperti nasi goreng terenak adalah GM, tentu akan makin berat bagi resto ini untuk dibandingkan rasa masakannya, karena dari awal kita sudah memasang standard dan ekspektasi yang tinggi.

Di Malang, dan Surabaya yang merupakan surganya jajanan atau makan di luar, aku tak bingnng memilih resto atau makanan pinggir jalan, karena semuanya enak. Itupun aku masih memiliki kecendrungan untuk kembali ke tempat yang sama setiap hari. Seperti ketika berada di Malang, aku akan kembali dan kembali lagi makan bakwan Kota Cak Man,..hingga aku diledek oleh teman – temanku satu team, ..’tiada hari tanpa bakso’,..atau kalau pas aku sedang ingin mengajak mereka makan,..ada catatan tambahan dari mereka : ‘boleh di mana saja, asal jangan bakso’,..hehe.
Ada satu kejadian tak mengenakkan ketika aku pergi ke resto Aloha, yang terkenal dengan Chinese seafoodnya, dan berlokasi di dekat Bandara Juanda. Aku sebelumnya sudah pernah makan di sini, dan semua masakannya enak. Ketika datang untuk ke-2xnya, tanteku mengingatkanku untuk menanyakan apakah masakan di sini halal, dan tercenganglah aku dengan jawaban yang mengagetkan dari pramusajinya : tidak dijamin, karena resto ini menyediakan masakan babi, dan peralatan masaknyapun tidak dipisah. Waah,..dengan perut lapar , terpaksalah kita keluar resto. Pernyataan konyol dari adikku yang menyesal karena tak jadi kutraktir : mestinya bertanyanya setelah kita selesai memesan makanan dan makan hingga kenyang,…hehe.

Bila ke Bali, aku lebih memilih masakan yang ‘aman – aman’ saja, yang pasti tak mengandung babi.., mengingat warga bali adalah non – Muslim. Sehingga pilihanku jatuh ke warung Padang atau ke warung Jawa yang menyediakan masakan rumahan, atau sekalian ke McD (McD lagi, McD lagi...!!). Pernah sekalinya aku ke Warung Made yang top itu,..karena sudah terlanjur duduk,..aku baru menyadari bahwa di antara pilihan menunya tersaji sate babi lilit, juga steak babi dsb. Waah,.keruan saja aku kehilangan selera…, karena tak ada yang menjamin bahwa berbagai masakan babi dan non babi ini dimasak di peralatan masak yang berbeda. Apalagi untuk steak dengan panggangannya !! Belum lagi disimpan di freezernya menjadi satu. Tetapi tak mungkin aku membatalkan pesanan, karena teman perjalananku bisa marah besar. Akhirnya kupilih salad dan grilled lobster yang aku juga tak yakin tak terkontaminasi babi dari panggangannya.

Di pesawat ke luar negeripun, jauh – jauh hari kita harus menginformasikan melalui agen perjalanan, bahwa kita memesan moslem food. Karena jika tidak, kita bisa kelaparan sepanjang perjalanan. Ini yang kualami sewaktu pergi ke Italy sekian tahun silam. Aku dan temanku hanya mengganjal perut dengan coklat selama 13 jam perjalanan !!

Jika kita sedang berada di luar negeri, maka kita pasrahkan pada teman kita yang memang penduduk asli setempat untuk memilihkan resto bagi kita. Atau jika kita berkesempatan untuk jalan – jalan sendiri, dan tak ada rujukan atau masukan dari teman yang penduduk asli, maka keleluasaan bisa jadi malah membingungkan kita. Seperti yang kujumpai saat berjalan di Green Belt – rangkaian 4 mall super besar yang tersambung menjadi satu di Makati, prime area di Manila -, aku bingung mencari makanan non babi. Orang Philippines adalah pencinta babi sejati. Hampir semua resto di mall menyediakan masakan yang mengandung babi. Pernah aku datangi Jolli Bee, Phils fast food resto terbesar di Phils, yang menyediakan hidangan semacam di McD (dulu pernah membuka outlet di Blok M di akhir ‘80an, tetapi akhirnya tutup), kutanya apakah selain menyediakan menu ayam, juga ada babi. Wah, dengan antusiasnya si pramusaji mengatakan ‘ada’. Seketika itu juga aku keluar resto tsb sambil menahan lapar. Akhirnya setelah berkeliling selama setengah jam, aku lagi – lagi memilih McD sebagai menu makan malamku, karena itulah yang teraman – no pork !! Pernah juga hari lainnya aku berputar – putar, dan berakhir dengan hanya mengganjal perutku dengan croissant dan danish pastry dan segelas cappuccino.
Sarapan pagipun menjadi ritual yang membuatku menderita, karena buffet hotel banyak menyediakan masakan babi. Roti yang mengundang selera dengan banyak parutan keju di atasnya, ternyata fillernya adalah daging babi !!! Jadi, untuk amannya aku hanya memilih sarapan dengan croissant atau dim sum siomay ayam.
Untungnya, tuan rumah mengerti kebutuhan tamunya dari Indonesia dan Malaysia, sehingga saat makan siang di sela konferensi, mereka selalu memilih menu yang non – babi. Mantan bossku yang orang Phils dan hadir saat itu, juga membantu menginformasikan mana yang aman untuk kumakan.
Makanan di Phils ini unik rasanya. Menurutku kurang sesuai untuk lidah orang Indonesia yang suka sekali rasa yang berat, spicy dan pedas. Selera orang Indo lebih mirip orang Malay, Singaporean, dan Thai. Phils yang lama dijajah oleh Spanyol, dan Portugis, lebih cenderung mengadopsi rasa Barat. Kadang dicampur dengan taste China, karena banyak warga China berasimilasi di sana, terutama pada akhir abad 19. Tetapi, tetap yang dominan adalah rasa baratnya, sehingga masakan Phils lebih ‘plain’ dalam bumbu dibanding masakan Indonesia.

Ketika berada di Philippines, temanku yang orang Malaysia, sangat ketat memegang kaidah Islam, sehingga sekalipun jelas – jelas masakan yang tersaji di hadapannya ayam, karena ia tak yakin bahwa ayam ini disembelih dengan membaca basmalah, maka ia tak menyentuhnya. Walhasil, selama di Manila, ia menjadi seperti penganut vegetarian sementara,..karena hanya makan sayur dan membawa bekal abon dan sambal dari negaranya. Padahal, pada saat demikian, hidup tak perlu dibuat rumit. Selama daging tsb halal : baik ayam maupun daging sapi, meskipun tak disembelih dengan membaca basmalah, karena penyembelihnya non – muslim, maka saat memakannya kita cukup membaca basmalah dan legallah kita memakannya. Jika tidak, betapa sengsaranya muslim yang tinggal di negara – negara Barat, karena tak bisa memakan daging sapi, ayam, corned, sosis, dsb hanya karena tak melalui proses pembacaan basmalah !!!

Di Malaysia, dan Singapura, makanan tak menjadi masalah besar. Karena rasa masakan hampir sama, semua senang spicy dan hot food. Bahkan orang Malaysia cenderung menyenangi segala sesuatu makanan yang sarat aroma rempah – rempah seperti orang India dan Arab, yang tak kusuka (India menempati populasi ke-3 terbanyak di Malaysia setelah ras Melayu dan China ). Mulai dari nasi bryani, sate Kujang, dan banyak masakan yang menggunakan santan. Tetapi untuk laksanya, OKlah sekalipun terasa berat santannya.

Di manapun kita berada di luar negeri, lebih aman untuk memilih masakan Thai, karena banyak menggunakan ikan dan hasil laut, serta ayam. Serta rasa masakannya yang spicy, sesuai dengan lidah orang Indonesia, dapat mengobati rasa kangen masakan Indonesia.

Apapun menu yang anda pilih untuk menemani makan siang dan makan malam anda dengan orang yang anda sayangi,.jadikan itu sebagai perjalanan menjelajah rasa dan mengetahui seluk beluk sejarah culinary di balik rasa yang timbul…

Bon Apetite !!

BNI – 18 Desember 2005
07.15 am

No comments: