Saturday, December 17, 2005

ACHLUOPHOBIA, CLAUSTROPHOBIA, NOSOPHOBIA, dan NECROPHOBIA.



Phobia berasal dari bahasa Latin phobic atau phobe, yang artinya ketakutan yang tidak rasional terhadap suatu keadaan atau subyek.

ACHLUOPHOBIA : ketakutan terhadap keadaan gelap.
Dan inilah yang terjadi pada diriku….Sewaktu kecil, aku tak takut pada gelap, karena kuingat aku suka bermain petak umpet dalam gelap dengan saudaraku. Justru ketakutan yang menderaku ini kurasakan baru 10 tahun terakhir ini. Gelap di sini berarti tak ada cahaya lampu sama sekali, gelap gulita…, dan hanya mengandalkan sinar bulan nun jauh di sana.

Reaksi yang timbul begitu mati lampu mendadak, dan aku butuh waktu sekian menit, untuk mendapatkan cahaya dari korek api sebelum lilin dinyalakan, adalah : aku merasa panik, dan tak dapat bernafas sama sekali…,keringat dingin, jantung berdebar – debar, .., dan merasa berada di suatu tempat yang asing. Aku takut sekali menghadapi kegelapan ini.

Untuk mengurangi kepanikanku - karena tak mungkin menghindarinya sama sekali – apabila terjadi mati lampu, maka aku selalu menyediakan senter di dekatku. Selalu ada senter di kamar, dan ada pula senter di tasku, yang selalu menemani aku di manapun berada. Aku takkan tenang tidur di pembaringan, jika senter tak berada di sebelah bantalku.Jadi, sewaktu – waktu mati lampu, maka dalam hitungan detik, aku sudah menyalakan senter dan mendapatkan cahaya. Bahkan jika mati lampu terjadi malam hari, demi keamanan agar tak terjadi kebakaran karena penggunaan lilin yang tak pada tempatnya yang mungkin dapat tersenggol kaki atau jatuh, maka aku akan menyalakan senter selama berjam – jam untuk menemani tidurku, hingga lampu PLN nyala kembali!! Resikonya adalah battery cepat habis…, tetapi itu tak ada artinya dibandingkan kepanikan dan kesulitanku bernapas.

Bagaimana jika kejadian mati lampu ini di luar kontrol kita, misal seperti kejadian saat aku di kereta Argo Anggrek, dalam perjalanan mudik ke Surabaya, sekian tahun silam ? Aah, saat itu benar – benar aku merasa sial, karena tiba – tiba lampu dan AC mati mendadak, aku panik setengah mati, tak bisa bernapas…dan saat kuraba – raba isi tasku,..ternyata tak kutemukan senter yang kucari. Waah,..saat itu aku benar – benar kesal, dan super panik…satu – satunya yang kucari adalah pendaran cahaya di luar kaca jendela KA ,..yang berasal dari lampu – lampu rumah penduduk yang dilewati sepanjang perjalanan…Untungnya kutemukan cahaya di luar KA ! Jika tidak, tak terbayangkan hebatnya sesak nafasku.

Kejadian ke-2 , terjadi 4 tahun yang lalu, saat aku masuk hari Minggu untuk menyelesaikan tenggat waktu proyek. Saat itu ruang meeting yang kugunakan, mati lampu, demikian pula semua ruang kerja lainnya. Segera saja, aku merogoh tasku dan menyalakan senter, untuk mendapatkan cahaya. Untungnya, karena gen-set segera menyala, maka keadaan gelap ini segera teratasi.

Kejadian tak terkontrol ke-3 terjadi tahun lalu, saat aku bersama teman kantorku berada di hotel Mandarin – Manila. Hari itu adalah hari terakhir kami berada di sana, sebelum kembali ke Indonesia. Dan sebelumnya kami lupa membaca surat pengumuman dari pihak hotel yang menginformasikan adanya giliran pemadaman listrik pada hari tsb., dalam rangka maintenance bagian Engineering. Jam 11 malam aku sudah tertidur pulas, sementara teman sekamarku yang memang bukan ‘early bird’, masih sibuk dengan kegiatan mengemas pakaiannya. Tiba – tiba, sekitar jam 11.15 malam, aku terbangun dan tersentak kaget sambil berteriak, saat kusadari lampu kamarku mati !! Aku sesak nafas, dan sambil meraba – raba, berusaha untuk membuka gordyn dan vitrage jendela kamar hotel,…agar dapat melihat pendaran cahaya dari gedung – gedung jangkung di sekitar lokasi hotel.

Sebagai orang yang takut gelap, maka aku selalu memilih untuk menerangi kamarku. Bisa dibayangkan, saat bepergian dengan rekan kerja, dan kita berbagi kamar. Rekanku adalah orang yang biasa tidur dalam keadaan lampu dimatikan, sementara aku sebaliknya. Jadi, agar adil, berlakulah sehari lampu kamar menyala, dan esoknya lampu kamar mati.

Aku bersyukur, aku tak pernah (dan jangan sampai !) mengalami kejadian seperti ledakan bom di BEJ 5 tahun silam, di mana keadaan menjadi gelap gulita, dan orang mesti merangkak dalam kegelapan di area parkir basement, untuk dapat menyelamatkan diri. Oooh,.tak terbayangkan panikku jika berada dalam situasi yang sama.

CLAUSTROPHOBIA : ketakutan ketika berada dalam ruang sempit.
Aku baru menyadari memiliki fobia ini, 9 tahun yang lalu.Yaitu ketika aku masuk ke pasar Blok M, di depan Matahari, yang dipenuhi ‘tenda biru’ pedagang, ….jarak antara tenda satu dan lainnya sedemikian rapatnya, sehingga tak ada ruang atau celah untuk mendapatkan udara bebas dan segar dari bagian atas atau kiri – kanan tenda,…seolah udara cuma berputar - putar dan terperangkap di sekitar tenda pedagang. Hal itu membuatku benar – benar sesak nafas,…serasa seperti mau mati,.tak dapat menghirup udara segar dan Oksigen bebas. Seperti seseorang yang menderita hipoxia, kekurangan Oksigen dalam aliran darahnya,…sehingga sulit sekali bernafas !! Jika dalam situasi seperti ini, maka jalan keluarnya hanya satu : segera keluar dari tenda biru,..mencari udara segar,..dan jika bisa hindari melewati tenda biru yang rapat. Tak perlu membeli barang dari tenda biru. Beda harga seribu atau dua ribu rupiah tak menjadi masalah, asalkan aku tak kesulitan bernafas.

Demikian pula saat aku berada di lift yang sempit dan pengap,..aku sering merasa ketakutan akan terperangkap dalam lift yang macet, dan tak ada sirkulasi udaranya. Ini membuatku selalu mencari letak tombol emergency dalam lift, sebagai antisipasi jika terjadi sesuatu yang tak diinginkan. Aku tak terlalu khawatir pada lift yang berada di gedung – gedung baru, tetapi pada gedung yang telah berusia puluhan tahun, dengan lift yang berbau karpet apek ,..seperti di suatu apartemen tua di Cilandak, aku patut merasa khawatir.

Jantungku juga berpacu kencang ketika mesti menggunakan lift di suatu hotel di Tangerang, yang pernah macet di tengah jalan, dan tidak membawaku ke tempat tujuan. Akhirnya aku memilih menggunakan tangga biasa, untuk naik ke lt.3, dari lantai dasar, hanya untuk mendapatkan rasa aman…., hitung – hitung sekalian berolahraga dan melatih otot – otot cardio vasculairku.

Hal yang sama terjadi juga saat aku berada di suatu hotel yang aku lupa namanya di Mekkah sekian tahun silam. Setiap lift ini digunakan, suaranya berderak – derak seperti kurang diberi pelumas, dan seperti akan jatuh ke bawah. Ini membuatku was – was.., dan selalu mengajak jema’ah lain menemaniku.

NOSOPHOBIA : ketakutan untuk jatuh sakit.
Aku punya kecendrungan untuk memiliki ketakutan berlebihan untuk jatuh sakit. Dan itu kurasakan sejak kecil . Semua ada sejarahnya. Ketika aku TK, aku menderita batuk rejan yang cukup parah, yang membuatku absen dari sekolah selama hampir 3 bulan.
Saat aku kelas 3 SD, aku menderita DBD yang apabila telat sehari dideteksi, nyawaku bisa melayang.,,.karena saat itu tanganku telah penuh bintik merah. Untung, karena yang menangani adalah dokter anak yang masih sepupuku sendiri, maka dapat dijamin perhatian dan keseriusan penanganannya lebih besar.

Saat itu sakit terparah dan terheboh adalah sakit kanker yang hingga kinipun tak ada obatnya. (Belum ada sakit AIDS, flu burung, atau SARS seperti saat ini), sehingga saat itu, jika sakit sedikit, aku akan bertanya pada tanteku yang tinggal di rumah, apakah aku terkena kanker…Menggelikan bila kuingat saat itu.

Setelah itu, dari SMP hingga tamat kuliah, alhamdulillah aku hanya menderita sakit ringan seperti flu dan maag saja. Sekalipun di antara periode itu, aku pernah menderita buli-rexia, gabungan penyakit bulimia dan anorexia nervosa yang cukup parah hingga pernah dibawa ke UGD RS, hanya karena keinginan untuk terus langsing . Ini terjadi karena tingkat percaya diri yang rendah, yang menganggap kita dihargai orang lain, hanya bila memiliki tubuh langsing. Kenaikan berat ½ kg sudah mampu membuatku panik, dan menghitung ulang asupan makanan dan kalorinya. Saat itu aku baru menyadari bahwa ketakutanku terhadap kenaikan berat badan sudah di luar batas kewajaran (waktu itu beratku saat kuliah hanya sekitar 40 kg, tetapi dengan ‘proyek gila’ku, dalam waktu sebulan beratku turun menjadi 36 kg) dan sudah menjadi suatu phobia. Kelak kutahu, ketakutan terhadap kenaikan berat badan ini disebut OBESOPHOBIA.

Nosophobia ini kembali terulang saat – saat akhir ini. Seorang rekan kantor mengingatkanku bahwa bisa jadi aku menderita psikosomatis, tetapi jelas kukatakan ‘tidak’. Karena psikosomatis adalah merasa diri kita sakit macam – macam dan mengeluhkannya, tetapi saat diperiksa dokter, ternyata diri kita sehat 100%. Karena psikosomatis bermula dari pikiran kita.
Sementara kasusku justru sebaliknya. Aku memang sedang didera stress berkepanjangan dengan kadar dan intensitas makin parah dari hari ke hari, yang sudah kucoba berdamai, dan berdo’a untuk menenangkan diriku. Tetapi ternyata, tubuhku yang daya tahannya dalam kondisi lemah karena tak dibarengi olahraga, istirahat cukup dan asupan suplemen makanan, tak bisa menerima stress tsb, sehingga bereaksilah dalam bentuk maag/tukak lambung, ganglion (kelenjar / daging tumbuh di tangan), menstruasi yang kacau dan berkepanjangan, flu, sinusitis, dan yang mengejutkan : tekanan darah tinggi ! Padahal sejarah kesehatanku , aku menderita hipotensi, dan bukan hipertensi. Bisa dibayangkan ketika selama berhari – hari, aku merasa lemas, sangat pusing, yang terkonsentrasi di atas ke-2 mata, dan bagian belakang leher,..sehingga membuatku tak cukup produktif sepulang kerja. Hanya mampu berbaring di tempat tidur, beristirahat lebih awal dan lebih panjang dari biasanya. Sehingga aku tak bisa membaca buku – buku yang sudah kubeli, juga tak bisa meng-update blogku. Dan satu hal yang kutakutkan : Hipertensi selama berhari – hari itu membuatku sesak nafas seolah mau mati saat menjelang tidur,…dan semua itu membawa dampak supply Oksigen ke otak berkurang..(hehe,.pantas saja agak lamban berpikir dan sulit berkonsentrasi mengingat – ingat sesuatu).

Hingga akhirnya aku sampai pada kata akhir : ENOUGH is ENOUGH !!! Aku tak mau diperbudak oleh stress. Kendalikan apa yang bisa kukendalikan !!! Semua hal yang menjadi tak terkendali dan berkecendrungan menjadi liar dan merusak harmoni sekitar kita, mesti kita selesaikan dengan tenang. Jika masih juga tak terselesaikan, biarkan Allah yang mengambil alihnya.

NECROPHOBIA : ketakutan mati. (jawaban untuk temanku)
Ketakutanku terhadap kematian muncul sejak kecil, karena kesadaranku pada ajaran agama yang memperkenalkan konsep surga dan neraka. Sehingga tertanam kuat dalam hatiku, bahwa aku tak mau mati jika bekal akhiratku belum cukup banyak..,karena aku tak ingin tak siap menjawab pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir kelak. Aku juga tak siap di siksa di alam barzah, dan akhirnya masuk neraka. Aku tak mau sendirian dalam kegelapan di kuburan, berkalang tanah dan dikerumuni cacing – cacing…., sementara keluargaku menangisiku di dunia, masih mengharapkan aku menemani hari – hari mereka.

Aku masih ingin membesarkan anak-anakku yang kucintai dengan sepenuh jiwa, yang membuat hari – hariku yang melelahkan terasa lebih mudah kulalui,…yang memberi makna mendalam bagi kehidupanku, yang mengajariku untuk berbagi saat – saat duka dan suka dalam kebersamaan…

Aku tak ingin didera sakit berkepanjangan menjelang kematianku,.karena bagiku hal itu merupakan siksaan, dan aku takut membuatku hilang kesabaran….!!! Aku bisa membayangkan bagaimana tersiksanya pasien kanker yang merintih kesakitan meminta disuntik morfin untuk mengurangi rasa sakit yang dideritanya. .. Bahkan tak sedikit yang memilih bunuh diri karena tak kuat menanggung sakit kronis berkepanjangan, dan ada pula yang meminta untuk disuntik mati,…sebagai bagian dari Euthanasia (hak untuk memilih mati bagi seseorang, yang sampai sekarang masih menjadi polemik di berbagai negara dan baru berlaku di Belanda, karena berkaitan dengan etika : hak hidup seseorang. Seperti misalnya seseorang yang secara klinis dinyatakan mati karena batang otaknya tidak berfungsi lagi, tetapi jantungnya tetap berdetak karena menggunakan alat pacu. Apakah keadaan ‘comma’ selama puluhan tahun -tanpa ada refleks anggota tubuh-, tanpa pernah sadar ini masih bisa dikatakan sebagai suatu ‘kehidupan’ ??? Selain berharap pada ‘mu’jizat’ dari Allah semata) . Aku takut mati karena ketidak siapanku menghadapi saat satu ini . Padahal jika kubaca kolom Obituari di Kompas, makin banyak orang yang meninggal dalam usia muda dan produktif : ‘30an hingga’ 40an.

Jadi, jika saat ini ‘argo umur’ku sudah menunjukkan di atas 40,..aku tak bisa menunggu lagi untuk memulai menabung amalan akhirat,..dan berbuat baik bagi sesama.

It’s now or never,..aku mesti mulai memacu diriku dengan gigi 3, untuk bisa menutup semua kelambatan menempuh jarak menuju ridho melalui amalan – amalan yang disukaiNya….Karena maut dan kematian tak bisa menunggu kita siap,…terutama saat daun di Lauh Mahfudz gugur,..dan bertuliskan nama kita.

BNI, 17 Desember 2005
08.45 pm

No comments: