Sunday, July 31, 2005

TRAGEDI PENDIDIKAN DI INDONESIA


Pernah kubilang pada temanku, betapa beruntungnya dia,…karena memiliki kesempatan yang jarang dimiliki oleh orang lain.
Lulus kuliah dari ITB,..bekerja dengan mulus, kemudian dapat melanjutkan pendidikan ke Aachen,…mendapat gelar Master,.dan sekarang sedang memulai penelitian untuk program PhDnya.
Ketika kutanya, kapan akan kembali ke Indonesia,..dengan ragu dia bertanya,.apa yang dapat dia lakukan di Indonesia yang sedang dalam situasi krisis seperti sekarang ini, ,,,Indonesia tak bersahabat bagi orang – orang seperti dia !!!
Padahal Indonesia tak bersahabat bagi siapa saja,.tak hanya dia !!! Rasio pencari kerja dan lowongan kerja semakin jauh dari seimbang!! Banyak sarjana yang menerima pekerjaan yang hanya membutuhkan kualifikasi lulusan SMA!!

Kita tak pernah tahu bahwa investasi yang kita tanamkan dalam bentuk pendidikan bagi anak – anak akan dapat menjamin masa depan yang lebih baik bagi mereka.
Bahkan pendidikan itu sendiri sudah menjadi komoditi perdagangan, seperti juga barang – barang komersial lainnya. Yang beruanglah yang berkuasa….
Dan ini tak hanya terjadi pada insititusi pendidikan swasta, tetapi juga pada institusi pemerintah, yang sudah menerapkan biaya pendidikan yang cukup mahal dan makin tak terjangkau bagi kaum marjinal di Indonesia.

Semakin hari, semakin jauh kesenjangan antara si kaya dan si miskin. Dan 10 – 20 tahun ke depan, Indonesia akan dipimpin dan dikendalikan oleh generasi penerus dari keluarga mampu dan kaya, yang hanya 5-10% dari populasi penduduk Indonesia. Lalu akan dikemanakan 90% sisanya, yang semakin tak berdaya dan terpinggirkan, karena boro – boro mampu menyisihkan uang untuk pendidikan, untuk hari ini saja mereka akan bertanya “Apakah kita bisa makan hari ini?”
Apakah kita akan membiarkan mereka menjadi pembantu di negeri sendiri, dan membiarkan orang asing menjadi majikan kita di negeri yang ‘gemah ripah loh jinawi’ bergelimang sumber daya alam ?
Lalu,.betapa jauh dari kenyataan, kebijakan presiden kita yang mencanangkan ‘wajib belajar 9 tahun bagi warga negaranya’, dan memberikan pendidikan gratis bagi mereka….???
Betapa makin banyak anak jalanan, yang seharusnya tempat mereka di rumah, ..belajar bersama ayah bundanya, dan bukan mengadu kerasnya kehidupan di hitam kelamnya Jakarta.
Betapa teganya engkau membelikan sepatu Gosh atau Converse untuk anakmu, yang bisa seharga penghasilan setengah bulan memulung sampah di Jakarta ?
Pernahkah terbayangkan, pembantuku yang anaknya – nilai UAN 27 untuk 3 mata pelajaran - masuk di SMAN 1 Ponorogo (SMA terbaik di Ponorogo) dikenai biaya masuk 1.5 juta Rp, di luar biaya uang seragam Rp. 500,000 –apakah masuk akal, seragam di Ponorogo, yang hanya 4 – 5 stel dihargai per Rp. 500,000, sementara kamu bisa membelinya dengan harga Rp. 20,000 per potong di toko – toko di Jakarta ? Belum terhitung biaya buku dll. Betapa haru birunya perasaan kamu, ketika menyadari,…naluri keibuan dan semangat untuk memperbaiki nasib, bahkan tumbuh di hati setiap warga negara,..bahkan kalaupun itu adalah PRT kita….

Betapa miris hati kita ketika membaca di koran, seorang anak bunuh diri, dan akhirnya dapat diselamatkan, tetapi menjadi CACAT seumur hidup dengan keterbelakangan mental, karena terhambatnya suplaí O2 di otaknya selama beberapa menit, gara-gara aksi bunuh diri yang dilakukannya karena malu ibunya menunggak pembayaran uang iuran yang nilanya bahkan kurang dari sehari uang jajan anak – anak kita, Rp. 2,500….
Betapa berita bunuh diri di kalangan anak sekolah sudah semakin memenuhi berita – berita di koran.., termasuk juga berita bunuh diri anak SMP yang menunggak pembayaran SPP selama beberapa bulan, dan malu dikatakan sebagai ‘anak tukang bubur’….
Ini menunjukkan sudah semakin seriusnya issue pendidikan di Indonesia,…
Apakah kita akan berpangku tangan saja? Bukankah kita bagian dari bangsa yang berbudaya tinggi dan adi luhung?
Apakah kita cukup puas menjadi bangsa yang memiliki kesolehan formal, dan belum memiliki kesolehan sosial ?

Tangerangku, 31 Juli 2005
05.50 pm

No comments: