Tuesday, February 06, 2007

MULUT.....


Teman saya bilang mulut itu seperti tong sampah. Saya
membayangkan bagaimana bila Departemen Kesehatan memeriksa mulut
saya. Mungkin yang diketemukan tak hanya kuman, tetapi juga sampah
bekas sumpah serapah.

Dari semua bagian tubuh yang diciptakan Sang Kuasa, mulut menurut
saya yang paling luar biasa. Ia bisa menyala dengan olesan pemerah
bibir, ia juga bisa cantik dengan mengeluarkan bunyi-bunyian yang
indah terdengar di telinga. Mau itu pura-pura, mau itu setengah
pura-pura, mau itu benar-benar tulus, saya tak mempermasalahkan. Ia
bisa menghibur dengan mendendangkan lagu-lagu yang sudah mirip iPod.
Wanita dijajah pria sejak dulu, dijadikan perhiasan sangkar madu.
Kasihan wanitanya, atau itu cuma maunya pria, saya juga tak tahu.
Tetapi, mungkin ada wanita yang tak keberatan dijadikan madu, asal
hidup makmur gemah ripah dan bermandi madu. Tetapi, yang jelas,
dendang lagu masa lalu itu enak didengar, apalagi keluar dari mulut
Sundari Soekotjo.



Mulut seperti silet

Dengan mulut, saya bisa memasukkan segala rupa. Dari yang benar
dan besar sampai yang tidak benar dan tidak besar. Sate ayam,
durian, hot dog, tongseng, steak daging, maksudnya. Bahwa nanti
kepala bakal cenut-cenut, nanti saja dipikirkan, yang penting masuk
mulut saja dulu. Apalagi sampai menggoyang lidah. Saya membayangkan
lidah bergoyang di dalam mulut, entah mau makan, apa mau jungkir
balik. Mbok kalau bergoyang itu di tempat lain, tidak di dalam
mulut. Kata teman saya. "Hmmm… enakan kalau bergoyang di dalam
mulut, Mas."



Mulut saya apalagi. Maksudnya bukan mulut saya yang enak
digoyang. Karena saya tak bisa menyanyi seindah Sundari Soekotjo,
maka saya bernyanyi dengan irama naik-turun dan liriknya yang dalam
dan menyakitkan.



Seorang teman menyebut mulut saya seperti silet. Jadi, bisa
membuat berdarah. Tak hanya di kantor, tetapi di jalan raya juga.
Apalagi kalau sudah terlambat memenuhi janji dan jalan macet total,
yang membuat jadwal jadi berantakan. Padahal, saya yang membuat
berantakan jadwal sejak awal, dan jalan macet jadi kambing hitam.




Saya heran kenapa kambing yang dijadikan korban dan yang hitam
pula. Maka perkataan seperti b…..t, a....g (tebak dan isilah dengan
kata yang tepat, apalagi kalau Anda sama seperti saya, mudah sekali
mengisinya) keluar dengan lancar dari mulut yang beberapa jam lalu
masih bisa menerima telepon dengan mulut yang manis.



Dengan mulut, saya bisa merayu, mencium, dan mengecup. Mengecup
mulut siapa saja. Seperti cerita salah satu tim redaksi saya yang
mewawancarai salah satu aktor Indonesia yang memberi kecupan,
padahal cuma mau difoto bareng.



Menghina orang, itu juga yang keluar dari mulut saya dengan
mudah. Terutama kalau hadir di pesta-pesta dengan manusia yang
seribu macamnya. Suara-suara pedas sering keluar begitu saja,
seperti komentar pedas di sebuah situs bernama whodoyouthinkheare,
terhadap cara berdandan para artis Indonesia.



Awalnya saya pikir lucu dan membuat terbahak-bahak, kemudian saya
malu sendiri karena saya tak ada bedanya dengan situs penuh
penghinaan itu. Saya lupa, saya ini ganteng saja tidak, apalagi
begitu sempurnanya, sampai tak pernah berbuat salah dalam segala
hal. Jadi, bagaimana mungkin saya punya nyali menghina orang yang
notabene ciptaan Sang Khalik. Berarti saya sudah menghina Sang
Khalik secara tak langsung lewat ciptaan-Nya.



Mulut yang mendua



Soal janji. Itu hal termudah yang keluar dari mulut saya. Seribu
janji surga saya katakan dan seribu janji pun kandas di neraka.
"Ntar gue telepon balik ya," atau "Let’s have lunch next week ya,
bo," atau "Pasti-pasti besok ku telepon ya, Mbak."



Ironisnya, saat saya sedang menulis artikel ini, sebuah penerbit
buku menagih janji yang tak saya tepati. Saya dengan ringan bisa
minta maaf karena banyak pekerjaan, dan menggunung, padahal saya
bisa menonton Munich dua jam setengah dan dilanjutkan dengan
mengobrol di sebuah kafe dua jam setengah lagi. Janji saya cuma
isapan jempol.



Ternyata, jempol enak diisap, sama enaknya membuat seribu janji
dan tidak ditepati. Tetapi, begitu saya dijanjikan sesuatu dan tidak
ditepati, maka mulut saya bernyanyi dan jadi silet lagi. Seperti
seorang wanita yang menghubungi saya beberapa kali untuk menawarkan
kartu keanggotaan sebuah klab. Awalnya ia bermanis mulut, kemudian
setelah beberapa bulan ia mencoba merayu dan saya merespons dengan
jawaban negatif, suara manis yang saya dengar beberapa kali hilang
dan diganti dengan ucapan bernada marah. Sejak itu ia tak pernah
menghubungi saya lagi. Padahal, saya tengah menguji dirinya karena
saya sedang mencari tenaga pemasaran.



"Kucinta kamu bukan berarti aku tak mendua." Demikian lirik lagu
dari Potret. Saya tak tahu maksud sang pencipta lagu dengan menulis
lirik seperti itu. Mau jujur, apa sak enake dewek, saya benar-benar
tak tahu. Yang saya tahu kalau mulut saya memang selalu mendua.
Seperti lalat, yang bisa di tempat kotor, tetapi juga riang gembira
di tempat bersih.



Teman saya nyeletuk. "Lalet, bukan lalat." Saya membalasnya.
"Bukan. Lalet itu artinya lambat, plintat-plintut." Dia jawab lagi,
"Itu lelet." Saya balas lagi. "Itu nama ikan, bo." Dia naik pitam.
"Itu ikan lele, geblek."



Cara Membersihkan Mulut



1. Sikat gigi minimal dua kali sehari. Saya tiga kali sehari.
Kemudian bersihkan dengan antiseptik khusus untuk mulut. Ingat untuk
mulut. Karena sekali waktu saya pernah titip kepada seorang teman
untuk membelikan antiseptik mulut, yang datang untuk membersihkan
vagina. "Oh... maaf bo, aku enggak tahu. Kupikir yang ada ya cuma
buat mulut," katanya.



2. Periksa ke dokter gigi paling tidak dua kali dalam setahun
kecuali gigi Anda seperti gigi saya, yang beberapa bulan lalu enam
gigi berlubang semua dan satu gigi harus dicabut karena sudah
membusuk. Dokternya sampai geleng kepala, menanyakan kenapa bisa
sampai seperti ini. Tentu saya diam saja karena mulut saya sedang
mangap, air liur tertahan di tenggorokan, dan satu peralatan dokter
gigi menancap di mulut saya, yang membuat saya hanya mampu
mengeluarkan bunyi: etu karns eiyings owongin oyangungkah uapah.
Artinya begini. Itu karena sering ngomongin orang dan sumpah
serapah.



3. Seperti semua di dunia ini, latihan sangat diperlukan. Anda
ingin bisa mengendarai mobil dan bercita-cita mengalahkan Ananda
Mikola, Anda harus latihan. Anda mau berbahasa Inggris dengan benar
supaya tidak dihina, maka Anda perlu latihan. Latihan bahasa Inggris
maksud saya, bukan latihan menghina. Itu tak perlu dilatih. Itu
mungkin hal satu-satunya di dunia yang tak perlu latihan. Maka
berlatihlah untuk menguasai mulut, dan bukan mulut menguasai Anda.
Susah? C’est la vie.



4. Mulut yang "berbisa", maksudnya mulut yang serba bisa. Bisa
mengumpat, bisa mengecup mulut orang, bisa mengeluarkan kata-kata
kotor, umumnya ada sesuatu yang negatif menyelinap di dalam hati.
Itu menurut pengalaman saya. Nah, coba Anda berbicara dengan diri
Anda sendiri. Tentu di rumah, nanti kalau di jalan dikira orang
gila.



Bila Anda tak menemukan rasa negatif, coba gali lebih dalam lagi
mengapa bila tak ada yang negatif Anda masih punya mulut berbisa.
Nanti Anda akan tahu jawabannya, asal Anda berani mendengar suara
hati sendiri.

Samuel Mulia - Kompas Minggu

No comments: