Thursday, February 08, 2007

TANGIS BULAN FEBRUARI


(judul puisi ini terinspirasi oleh “Hujan bulan Juni”nya Sapardi Djoko Damono)

Apakah perlu tangis dan isak itu,
Untuk hujan lebat dan banjir yang tak kunjung reda
Yang membuat 400 ribu orang melewati hari – hari dalam cemas :
Hidup dalam pengungsian, berdesakan tinggal di jalan tol Priok,
Berhimpitan tidur di masjid, sekolah, bahkan kuburan umum
Bertahan hidup di atap rumah mereka : mandi dan memasak di sana..
Berjuta orang menjadi paranoid terhadap gelegar suara petir,
tamparan angin di pepohonan,
dan suara arus air di sungai yang naik dengan cepat….
Berjuta orang menjadi tak berdaya, terempaskan asanya...
atas tempat tinggal yang memberi rasa aman dan nyaman,
atas irama kehidupan yang menjadi kacau..
Tiga bulan bergumul dengan ketakutan di malam hari :
Was was air bah akan naik merendam rumah mereka,
Mengancam nyawa mereka,
Memutus harapan mereka

Apakah dukamu berkurang ?
Karena telah kaucurahkan tangis paling biru
sebagai salam perpisahan pada orang yang kausayangi,
Ketika tahu kejujuran kehilangan makna,
dan keterbukaan cuma sebatas kata – kata yang menguap di udara bau busuk
Ketika tahu ia menggunakan banyak topeng di panggung sandiwara ini...
Dan memilih menutupi kebenaran dengan kelopak bunga bangkai...

Tangis di bulan Februari,
Untuk sebongkah sesal berkepanjangan,
Karena ternyata kau tak mengenalinya dengan baik,
Karena ternyata masa lalunya menentukan apa yang diperbuatnya kini...
Karena pertobatan hanyalah angan – angan yang tak ingin ia wujudkan....
Karena sensasi perselingkuhan lebih menantang dibanding kesetiaan...

Tangis di bulan Februari,
Apakah melegakan hatimu ?
Ketika kauyakini firasatmu benar adanya
Ketika kausadari engkau terbebas dari kebohongan berkepanjangan
Ketika kau tahu tak perlu memaksakan bertahan untuk sesuatu
yang tak terjembatani perbedaannya
Ketika kau mengerti takkan kautemukan bahagia bila terus bersamanya...
Karena akan ada yang menyakiti dan tersakiti...

Di rintik hujan arteri PI, 2007-02-09
08.00 am