Sunday, August 20, 2006

Sebuah perenungan akan makna ‘merdeka’ : di HUT Kemerdekaan RI Ke – 61


Tahun ini keterlibatanku dalam peringatan subyek di atas lebih intensif, karena dengan pengetahuanku yang pas – pasan tentang fotografi, aku menjadi fotografer untuk semua lomba dan perayaan di RWku. Di sini aku berperan pasif, melaksanakan tugasku sebagai fotografer. Itu saja.

Satu hal yang menggelitik tanya di hatiku : apakah HUT Kemerdekaan akan selalu diperingati dengan cara seperti ini dari tahun ke tahun ? Lomba yang dari zaman aku masih bayi merah sudah ada : makan krupuk (Tapi jangan dibilang,..bangsa ini mentalnya seperti krupuk kanji putih yang langsung menciut ketika kena air), membawa kelereng, tarik tambang, dsb,..tanpa ada variasi dan peningkatan yang berarti. Mengapa tak ada lomba yang memacu kreatifitas bangsa ini ? Misal lomba mendaur ulang sampah, agar mereka lebih peduli lingkungan. Bahkan yang lebih sederhana : memilah sampah menjadi sampah organik dan anorganik, agar memudahkan proses peleburannya. Atau lomba membuat kerajinan tangan atau kriya di antara para remaja, sehingga mereka tak hanya jadi generasi yang hanya mampu ‘membeli’ saja dan ‘menghabiskan’ uang. (Ingat masa remajaku yang biasa membuat kartu ucapan lebaran dari rumput kering, dan membuat sendiri hiasan dinding dari aplikasi kain dan benang, serta menjahit tas, bantal hias atau gantungan dinding dari kain perca dan quilt). Bisa juga lomba mendesain website bagi remaja, karena hal ini tak jauh dari dunia mereka sehari – hari yang akrab dengan komputer, kamera, dan games.


Sampai lagu yang dinyanyikan oleh anak – anak balita ketika mereka mengikuti lomba kelereng, membuatku trenyuh dan miris : ‘balonku ada 5,..dst’ serta ‘potong bebek angsa,…dst.’ Lagu yang sejak aku belum lahir 42 tahun silam, sudah ada!!! Lagu yang di satu sisi menggembirakan, karena mampu menjadi lagu ‘abadi’ menembus 3 generasi , tetapi di sisi lain amat memprihatinkan,..karena kemanakah para pencipta lagu Indonesia, penerus Ibu Sud, dan pak AT Mahmud ini ?? Mengapa mereka tak mampu membuat lagu anak – anak yang sederhana, tetapi menyentuh, dan memiliki pesan moral yang dalam ?

Apakah semangat nasionalisme kita akan makin menebal dengan cara seperti ini ?

Dengan mengenakan berbagai baju daerah lalu kita merasa sudah memiliki toleransi atas keberagaman budaya ??? Sementara cara berpikir kita masih berbau primordial !! Kita menganggap orang sesuku kita lebih baik dari suku lain, sampai – sampai jika ingin menikahpun, maka prioritas utama akan diberikan kepada orang sesuku, sebelum melirik ke suku lainnya.
Demikian pula jika akan merekrut karyawan, ada sementara orang yang cenderung untuk merekrut orang sesuku atau seetnis, karena mereka merasa lebih mudah berkomunikasi dan akan mengurangi terjadinya konflik.
Kita beranggapan bahwa kita sebagai orang yang paling berhak menentukan apa yang terbaik bagi daerah kita, sehingga terbentuklah Forum bla bla bla dsb yang amat berbau kedaerahan, yang merasa punya hak untuk mengusir penyanyi terkenal dari daerahnya, semata – mata karena si penyanyi memiliki pendapat berbeda tentang RUU - APP !! Ini negara hukum dan demokrasi, bung !! Jika kita belajar berdemokrasi, maka perbedaan adalah hal yang jamak, yang harus dihargai !! Berbeda itu indah! Dan tak ada sesuatu yang absolut benar dalam hidup ini.
Termasuk juga ketika seorang juara dunia bulu tangkis untuk mengurus surat – surat ke pemerintah, mesti menyertakan SBK (Surat Bukti Kewarganegaraan) RI untuk etnis Cina. Padahal namanya jelas – jelas sudah menggunakan nama Indonesia. Apakah ini bukan suatu diskriminasi ??? Apakah kita merasa bahwa kita yang berkulit sawo matang, akan serta merta memiliki nasionalisme yang lebih tinggi dibanding yang berkulit putih dan bermata sipit ??? Lihat siapa yang tampil sebagai juara dunia di Olimpiade Internasional Fisika !!! Jika ada segelintir etnis Cina lalai menggunakan rambu – rambu kode etik dalam berbisnis, maka tak bisa kita menggeneralisasi mereka sebagai etnis yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan.

Toleransi atas keberagaman budaya kita,..tidak terletak pada berbagai pakaian adat yang kita pakai, atau berbaju merah putih pada tgl 17 Agustus, tetapi lebih pada hati, cara berpikir dan tindakan nyata kita.

Apakah kepekaan sosial kita akan makin terasah ? Tak tampak semangat berbagi dengan mereka yang sedang tertimpa bencana di Yogya, Pangandaran, Sidoarjo dan daerah lain di seluruh Indonesia. Kita seperti lupa, bahwa mereka juga bagian dari kita, yang tak dapat merayakan peringatan HUT kemerdekaan dalam suasana normal seperti tahun – tahun sebelumnya. Alih – alih merayakannya dengan menyewa band atau organ tunggal, lebih baik uang tsb disumbangkan kepada saudara – saudara kita yang sedang tertimpa musibah bencana alam.

Merdeka juga berarti merdeka dari pengaruh salah satu raksasa dunia saat ini. Juga merdeka dari tekanan negara – negara pendonor dan berbagai bank di tingkat dunia yang ingin mendiktekan kehendaknya kepada pemerintah. Merdeka sebagai bangsa yang berdaulat, untuk menentukan arah kebijakan ekonomi di masa depan. Merdeka untuk menyuarakan kebenaran pada kasus Lebanon. Merdeka dari keinginan memperkaya diri sendiri dengan cara korupsi !!!

Apakah semangat ingin ‘merdeka’ dari jajahan ‘kekuasaan pikiran kita’, merdeka dari ‘pengaruh orang lain’ di sekitar kita, merdeka dari godaan ‘hedonisme’ akan kita miliki ?
Seperti yang terjadi pada anakku yang beranggapan bahwa berangkat dan pulang sekolah harus diantar dan jemput sopir., dan tak kenal angkutan umum. Ia pernah naik bis, angkot dan ojek sekali, disertai keluhan : panas, sempit, berdiri di bis. Lalu kukatakan, yang dia keluhkan tak ada apa – apanya, karena ia hanya berdiri dari Ahmad Dahlan hingga Lb. Bulus, sementara banyak orang tua berdiri dari Kota hingga Ciputat. Menjemputnya akan menelan biaya bensin yang lebih tinggi dibanding ia pulang naik kendaraan umum. Hingga suatu hari kutegakan menyampaikan bahwa ia harus memilih : tidak sekolah atau pulang naik kendaraan umum. Akhirnya ia mau pulang naik kendaraan umum, dan sejak itu tiap hari ia pulang naik kendaraan umum dengan riang.

Kita tak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, jadi penting sekali untuk mengajarkan kesederhanaan dan hidup secara prihatin kepada anak – anak.
Seperti anak laki – lakiku yang senang makan siang di warteg yang tempe gorengnya luar biasa enak !!!

Aku juga belajar memerdekakan pikiranku dari ketergantungan kepada sopirku. Dari belajar naik busway yang ternyata nikmat juga, sekaligus berolahraga naik turun tangga menuju halte busway, hingga belajar berbagi rezeki dengan joki 3-in 1 sambil mengusir pikiran negatif yang tak beralasan, bahwa mereka akan berbuat jahat padaku. Satu hal yang belum kulakukan : mencoba naik KA Eksekutif dari rumah ke Sudirman, padahal stasiun KA hanya 5 menit dari rumahku, dan hingga stasiun Duku Atas, hanya butuh waktu 35 menit, plus dilanjutkan naik bis 10 menit ke kantorku, total 1 jam, dibanding naik mobil yang butuh waktu 1,25 hingga 2 jam, plus biaya bensin, joki dan toll yang lebih mahal !!!

Sejak 2 tahun lalu, aku belajar memerdekakan diriku dari rasa sakit hati dan dendam yang muncul akibat putus hubungan !!! Tak ada gunanya memelihara rasa sakit hati ini. Belajar memaafkan orang lain, mencoba memahami sikapnya, dan men’cinta’i orang yang telah menyakiti kita – membuat kita lebih ringan menjalani hari – hari kita.

Penting untuk : ‘Merdeka untuk membuat keputusan yang menyangkut masa kini dan masa depan, tanpa pengaruh orang lain !! ‘

BNI, 20 Agustus 2006
12 siang

No comments: